Laporan Wartawan Tribunnews.com, Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, KOLOMBO – Pemerintah Sri Lanka mengumumkan telah berhenti membayarkan tagihan utang luar negeri yang jatuh tempo pada 2023 dan 2028 mendatang.
Pernyataan ini disampaikan Sri Lanka usai negaranya tak lagi memiliki cadangan pemasukan untuk memenuhi berbagai kebutuhan impor pangan dan bahan bakar energi. Kegagalan Sri Lanka dalam mengatur perekonomian negara, bahkan telah mengantarkan 21,92 juta penduduk mengalami resesi.
Baca juga: Dunia Diramal Resesi, IMF Pangkas Proyeksi Ekonomi Global Jadi 3,6 Persen
Dilansir dari Bloomberg, gagal bayar ini mulai dialami Sri Lanka pada pertengahan April lalu dimana saat itu pemerintah Sri Lanka harus membayarkan kupon obligasi dolarnya yang jatuh tempo pada tahun 2023 dan 2028 senilai 78 juta dolar AS.
Namun karena cadangan uang yang dimiliki Sri Lanka makin menipis membuat pemerintah memutuskan untuk menunda pembayaran utang luar negeri tersubut, hingga membuat S&P Global Ratings mengumumkan default selektif pada Sri Lanka.
Baca juga: Sosok PM Baru Sri Lanka Ranil Wickremesinghe, Anggota Oposisi Senior Kolombo
Sebelum mengalami kegagalan tersebut, Sri Lanka pun pernah menghadapi default pada awal tahun ini senilai 8,6 miliar dolar AS, lantaran tak mampu membayar utang luar negerinya pada China.
Hancurnya perekonomian Sri Lanka tak hanya membuat inflasi, namun juga ikut mengerek krisis pangan karena harga kebutuhan pokok melonjak drastis, seperti harga satu kilogram beras yang naik hingga 500 rupee Sri Lanka 1,56 dolar AS, menurut laporan Channel News Asia.
Tak hanya itu, lonjakan harga juga terjadi pada bahan bakar minyak, dimana pada April lalu minyak di Sri Lanka meroket hingga 35 persen. Lonjakan ini lantas memicu adanya krisis minyak hingga membuat terjadinya pemadaman listrik serentak selama beberapa hari.
Kondisi Sri Lanka yang makin memprihatinkan telah membuat India tergerak menyalurkan sumbangan diesel untuk masyarakat Sri Lanka.
Perwakilan diplomatik India di Sri Lanka mengatakan pengiriman 12 diesel, atau lebih dari 400.000 metrik ton, dikirim ke Kolombo pada hari Minggu (15/5/2022) di bawah batas kredit antara kedua negara. Pengiriman tersebut dimaksudkan untuk membantu mengamankan diesel untuk generator listrik di tengah pemadaman listrik selama berjam-jam.
Kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah Sri Lanka yang gagal mengatur perekonomian negara bahkan telah menggulingkan perdana menteri Mahinda Rajapaksa. Mahinda mengundurkan diri pada awal bulan ini dan digantikan oleh Ranil Wickremesinghe, setelah protes anti-pemerintah di Sri Lanka meningkat tajam.
Baca juga: Kemlu RI Ungkap Kondisi Ratusan WNI di Sri Lanka Pasca Bentrok Akibat Krisis Ekonomi
Meski baru dua pekan menjabat, namun ambisi Wickremesinghe untuk menyelamatkan Sri Lanka dari jurang resesi telah membuat perdana menteri baru ini mendapat dukungan penuh dari semua partai termasuk Partai Kebebasan Sri Lanka.
Wickremesinghe menyebut nantinya ia akan mulai menjajaki opsi lain untuk mengamankan dana bantuan yang telah di berikan bank dunia sebanyak 600 juta dollar AS untuk membayar tagihan bahan bakar yang jatuh tempo pada minggu depan.
Selain itu pihaknya dalam waktu dekat juga akan mengadakan diskusi dengan pejabat dari ADB dan Bank Dunia dalam upaya memobilisasi dana untuk memenuhi stok makanan, pupuk dan obat-obatan yang semuanya telah habis dengan cepat dalam beberapa pekan terakhir.