TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang memperbolehkan masyarakat tidak memakai masker di ruang terbuka, akan berdampak positif ke perekonomian Indonesia.
"Kalau kebijakan ini berkelanjutan, tidak hanya temporer, sebagai cerminan meredanya pandemi, maka dampaknya akan cukup signifikan ke perekonomian," kata Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah, Selasa(17/5/2022).
Menurutnya, kebijakan ini akan membangkitkan optimisme dan kepercayaan masyarakat akan meredanya atau bahkan berakhirnya pandemi Covid-19.
"Confidence itu akan mendorong konsumsi dan investasi sekaligus memicu pertumbuhan ekonomi," ujar Piter.
Sementara itu Kementerian Kesehatan telah melakukan Survei Serologi untuk melihat kadar dari antibodi masyarakat Indonesia dari Covid-19. Berdasarkan hasil Survei Serologi pada Desember 2021, 93 persen masyarakat di wilayah Jawa dan Bali telah memiliki antibodi.
"Antibodi ini bisa berasal dari vaksinasi yang diberikan oleh pemerintah atau juga bisa berasal dari infeksi yang diberikan oleh Yang Kuasa karena kita terkena," ujar Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam konferensi pers virtual.
Baca juga: Masyarakat Diizinkan Lepas Masker di Luar Ruangan, Kelompok Rentan Tetap Disarankan Pakai Masker
Survei Serologi kembali dilakukan sebelum mudik Lebaran atau pada Maret 2022 pada masyarakat Jawa dan Bali.
Budi Gunadi mengungkapkan terjadi peningkatan pada Survei Serologi di bulan Maret tersebut. "Ternyata naik dari 93 persen menjadi 99,2 persen," tutur Budi Gunadi.
Dia menjelaskan, bertambahnya jumlah masyarakat yang memiliki antibodi karena adanya percepatan vaksinasi.
Selain itu, peningkatan jumlah masyarakat yang memiliki antibodi, karena penularan varian Omicron yang jauh lebih tinggi daripada varian Delta.
Baca juga: MUI: Bagi Muslim yang Sehat, Salat Jemaah Tak Perlu Lagi Pakai Masker
"Penularan Omicron 20 persenan di atas Delta. Sehingga Banyak masyarakat kita yang tertular. Sehingga memiliki antibodi yang berasal dari infeksi," ujar Menkes.
Menkes juga mengungkapkan masyarakat Indonesia memiliki titer antibodi atau kadar antibodi yang tinggi terhadap varian Covid-19. Berdasarkan penelitian Sero Survey, pada bulan Desember rata-rata kadar antibodi dalam orde sekitar 500 hingga 600.
"Tapi begitu di bulan Maret kita ukur untuk grup yang sama, kadar antibodinya naik orde ribuan, mungkin 7.000-8.000," ucap Menkes.
"Ini membuktikan bahwa masyarakat kita, selain yang memiliki antibodinya tumbuh lebih banyak, tapi juga kadar antibodinya atau titer antibodinya naik lebih tinggi," tambah Menkes.
Menkes menjelaskan tingginya kadar antibodi masyarakat Indonesia terjadi karena banyak masyarakat Indonesia yang sudah divaksinasi. Masyarakat Indonesia juga, kata Menkes, sudah banyak yang terinfeksi Covid-19 varian omicron.
Sehingga, menurutnya, masyarakat Indonesia telah mengalami kondisi Super Immunity."Dan hasil riset di seluruh dunia menunjukkan bahwa kombinasi dari vaksinasi ditambah dengan infeksi membentuk apa yang di kalangan sains disebut Super Imunity," jelas Budi Gunadi.
Menurut Budi Gunadi, kekebalan pada kondisi Super Imunity memiliki kadar antibodi yang tinggi dan bisa bertahan lama.
"Jadi orang-orang yang sudah pernah divaksinasi kemudian terkena, selain itu melindungi yang bersangkutan masuk rumah sakit, tapi juga membangun super immunity. Jadi kadar antibodinya, ordenya tinggi ribuan dan juga bisa bertahan lebih lama ya," ucap Budi Gunadi.
Dengan demikian, masyarakat Indonesia telah memiliki kekebalan yang baik terhadap Covid-19 varian baru.(Tribun Network/fah/sen/wly)