TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sri Lanka mulai melakukan penutupan sekolah dan sebagian aktivitas pelayanan pemerintahannya, setelah mengalami kebangkrutan akibat gagal bayar utang luar negeri.
Penutupan yang dilakukan pemerintah Sri Lanka selama dua pekan dilakukan dalam rangka menghemat 'cadangan bahan bakar terbatas'.
Langkah ini dilakukan pemerintah Sri Lanka saat International Monetary Fund (IMF) membuka pembicaraan dengan negara itu tentang kemungkinan pemberian dana talangan (bailout).
Baca juga: Pemerintah Sri Lanka Izinkan Perempuan Usia 21 Tahun Bekerja di Luar Negeri
Dikutip dari laman Forbes India, Rabu (22/6/2022), negara berpenduduk 22 juta orang itu kini berada dalam cengkeraman krisis ekonomi terburuknya setelah kehabisan devisa untuk membiayai produk impor yang paling penting termasuk makanan, bahan bakar, dan obat-obatan.
Pada Senin lalu, sekolah-sekolah ditutup dan kantor-kantor pemerintah pun bekerja sesuai dengan rencana pemerintah untuk mengurangi perjalanan dan menghemat bensin serta solar yang berharga.
Direktur Riset Center of Reform on Ekonomics (Core) Piter Abdullah mengatakan, Indonesia tidak memiliki hubungan ekonomi yang kuat dengan Sri Lanka, baik di sektor keuangan maupun sektor perdagangan.
"Krisis kebangkrutan di Sri Lanka tidak akan banyak berdampak ke Indonesia," ujar Piter saat dihubungi Tribun.
Menurutnya, kondisi utang yang dimiliki Indonesia jauh berbeda dengan Sri Lanka, di mana pengelolaan utang Indonesia berjalan cukup baik. Bahkan, kata Piter, langkah pemerintah Indonesia mengelola utangnya secara baik diakui oleh lembaga-lembaga internasional.
"Disiplin fiskal kita sangat terjaga. Indonesia tidak pernah bermasalah memenuhi kewajiban pembayaran cicilan bunga dan pokok utang," katanya.
Baca juga: Pengamat Ekonomi: Kebangkrutan Sri Lanka Tak Berdampak ke Indonesia
"Secara jumlah juga utang indonesia relatif aman. Rasio utang indonesia sangat rendah dibandingkan negara-negara setaranya," sambung Piter.
Ia menyebut, keputusan berutang memang tidak terelakan, apalagi di tengah kenaikan harga-harga yang menambah beban subsidi pemerintah dan jika ingin menurunkan utang maka perlu mengurangi subsidi. Namun, hal itu dapat membuat harga semakin meningkat dan terjadi lonjakan inflasi di dalam negeri.
"Masyarakat tentu tidak menginginkan hal ini. Konsekuensinya beban fiskal akan meningkat yang artinya tidak mungkin mengelakkan utang pemerintah. Yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah terus disiplin menjaga besaran defisit sebagaimana sudah diatur dalam undang-undang," paparnya.
Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan kebangkrutan Sri Lanka ini disebut dapat mempengaruhi psikologis dari para investor ketika tanam modal di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Baca juga: Bangkrut, Sri Lanka Mulai Tutup Layanan Pemerintah dan Buka Dialog dengan IMF Soal Bailout
"Dampak ke Indonesia relatif kecil dari bangkrutnya Sri Langka, karena hubungan dagang tidak besar. Tapi dampaknya lebih ke arah psikologis ya, karena sekarang sudah ada risiko inflasi yang tinggi diberbagai negara, di Amerika pun di atas 8 persen," kata Bhima.
"Jadi kondisi Sri Lanka ini berpengaruh kepada psikologis pelaku usaha dan investor. Sehingga investor dalam situasi seperti sekarang ini lebih berhati-hati untuk masuk ke negara berkembang, maupun negara yang dianggap risiko fiskalnya itu tinggi," sambung Bhima.
Menurut Bhima, pelajaran yang dapat diambil pemerintah Indonesia dari kasus Sri Lanka yaitu sistem pemerintahan harus bersih dari tindakan korupsi, karena hal ini dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat maupun pelaku usaha.
"Lalu soal ketergantungan impor, baik pangan maupun energi. Harus dikurangi karena kasus Sri Lanka ketergantungan impornya tinggi dan akhirnya melemahkan nilai tukar," ujarnya.
Kemudian, kata Bhima, soal pengelolaan utang luar negeri, di mana proyek-proyek yang dampaknya kecil ke ekonomi lebih baik ditunda atau dibatalkan daripada membiayainya dengan utang.
Baca juga: Indeks Harga Konsumen Sri Lanka Melonjak 45,3 Persen pada Mei 2022, Tertinggi Sejak 2015
"Lalu daya beli masyarakat pasca pandemi ini harus dijaga, karena terlihat masyarakat tidak siap sepertinya dengan kenaikan harga BBM, tarif listrik, LPG dan bahan pangan," paparnya.
"Kesempatan kerja juga sedikit, sehingga kenaikan harga dengan kesempatan kerja belum berbanding. Maka perlu diimbangi stimulus dan perluas jaring sosial," tambah Bhima. (Tribun Network/sen/van/wly)