Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sri Lanka bangkrut akibat krisis ekonomi. Mutiara dari Samudera Hindia itu, gagal membayar utang luar negeri (ULN) yang mencapai 51 miliar dolar AS atau Rp 757,2 triliun (kurs Rp14.847 per dolar AS).
Krisis ekonomi di Sri Lanka disebabkan sejumlah hal.
Termasuk di antaranya, faktor krisis global yang melanda negara ini selama lebih dari 2 tahun hingga kebijakan dari Pemerintah Sri Lanka soal pelarangan penggunaan pupuk kimia. Berikut sederetan fakta penyebab Sri Lanka bangkrut:
Baca juga: Sri Lanka Keluarkan Edaran Pejabat Publik Kerja di Luar Negeri Wajib Setor 100 Dolar AS Per Bulan
1. Utang Luar Negeri Membengkak
Per April 2022, Bank Sentral Sri Lanka (CBSL) mengumumkan gagal bayar 51 miliar dolar AS terhadap utang luar negeri. Kepala CBSL Nandalal Weerasinghe menerangkan, pihaknya kehilangan kemampuan untuk membayar.
"Kami harus fokus untuk mengimpor kebutuhan pokok. Bukan membayar utang luar negeri. Kita sudah sampai di titik membayar utang menjadi sangat menantang dan tidak mungkin," ujarnya dikutip dari Reuters.
Satu di antara negara yang meminjamkan uang ke Sri Lanka adalah China. Negeri itu merupakan salah satu kreditur terbesar Sri Lanka. Pemerintah meminjam Beijing untuk sejumlah infrastruktur proyek sejak 2005, melalui skema Belt and Road (BRI). Total utang Sri Lanka ke China mencapai 8 miliar dolar AS.
Utang tersebut digunakan untuk pembangunan infrastruktur. Namun sebagian proyek tak memberi manfaat ekonomi bagi Sri Lanka.
Baca juga: Sri Lanka Bangkrut, Bagaimana Dampaknya ke Indonesia?
2. Kehilangan Pendapatan di Sektor Pariwisata
Perdana Menteri Sri Lanka Ranil Wickremesinghe mengatakan krisis ekonomi yang terjadi di negaranya dipicu oleh utang luar negeri Sri Lanka yang cukup besar.
Dari situs AP disebutkan bangkrutnya Sri Lanka juga dipicu kondisi ekonomi negara yang kandas karena kehilangan pendapatan dari sektor pariwisata akibat pandemi covid-19.
"Turis yang datang selama pandemi berkurang dari 2,3 juta orang menjadi 0,2 juta orang," tuturnya.
3. Krisis Bahan Bakar
Wickremesinghe mengatakan Sri Lanka tidak dapat membeli bahan bakar impor karena utang yang besar dari perusahaan minyak negara tersebut. Ceylon Petroleum Corporation disebut memiliki utang 700 juta dolar AS atau setara dengan Rp 10,3 triliun (kurs Rp14.847 per dolar AS).
"Akibatnya, tidak ada negara atau organisasi di dunia yang mau menyediakan bahan bakar untuk kami. Mereka bahkan enggan menyediakan bahan bakar untuk uang tunai," ujar Wickremesinghe dikutip dari AP.
4. Kekurangan Mata Uang Asing Sebabkan Gagal Panen
Krisis ekonomi yang menyakitkan di Sri Lanka dipicu oleh kekurangan mata uang asing, membuat para pedagang tidak mampu membayar impor penting, termasuk pupuk. Krisis tambah buruk saat Pemerintah Sri Lanka pada April tahun lalu mengeluarkan kebijakan melarang penggunaan pupuk kimia.
Kebijakan tersebut, lantaran Sri Lanka ingin dikenal sebagai bangsa pertanian organik. Perubahan kebijakan yang drastis menyebabkan pertanian Sri Lanka yang masih ditopang pupuk kimia menjadi kelimpungan. Petani gagal panen karena pupuk organik ternyata tidak siap.
Dilansir dari Newsfirst.lk, lahan pertanian Sri Lanka yang biasanya menghasilkan 4,5 ton padi per hektar kini hanya mampu 2,8 ton per hektar. Dari total 708.000 hektar, hanya sekitar 400.000 hektar yang bisa dipanen. Sisanya gagal.
Baca juga: Penyebab Sri Lanka Bangkrut, Kini Hadapi Krisis Ekonomi Terburuk sejak Kemerdekaan
5. Janji Kampanye
Kebangkrutan Sri Lanka ini dihubungkan dengan janji dari presiden terpilih, Gotabaya Rajapaksa. Menjelang pemilihan November 2019, Gotabaya mengusulkan pemotongan pajak besar-besaran sehingga pemerintah petahana mengira itu pasti gimmick kampanye.
Menteri Keuangan saat itu, Mangala Samaraweera, mengadakan briefing untuk menyerang janji "berbahaya" yakni mengurangi pajak pertambahan nilai dari 15 persen menjadi 8 persen dan menghapus pungutan lainnya.