News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Beban Subsidi Energi Tinggi, Pengamat Sebut Pentingnya Transisi Energi dari BBM ke Listrik

Penulis: Sanusi
Editor: Wahyu Aji
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ILUSTRASI Petugas PLN melakukan perbaikan jaringan listrik di jalan Trangkil Gunungpati, Kota Semarang, Selasa (11/10/2016).

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Sanusi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Jokowi kembali menyinggung terkait dengan besarnya beban subsidi energi yang mencapai Rp 502 triliun pada tahun ini.

Besarannya beban subsidi dikarenakan pemerintah masih menjaga daya beli masyarakat di tengah kondisi ekonomi yang baru tumbuh.

Terkait hal tersebut, Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan menyampaikan bahwa ada pesan implisit yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Presiden Jokowi.

Pesan tersebut menurut Mamit adalah perlu segeranya dilakukan transisi energi, dari energi Bahan Bakar Minyak ke energi yang berbasis listrik.

"Jelas sekali disampaikan oleh Presiden bahwa beban subsidi yang semakin besar ini perlu segera diatasi. Di mana salah satunya adalah dengan segera mungkin kita melakukan transisi energi agar beban subsidi yang ditanggung pemerintah semakin berkurang," jelas Mamit.

Selain beban subsidi yang berkurang, dengan memperbanyak penggunaan peralatan dan kendaraan yang berbasis listrik akan mengurangi emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan.

"Apalagi kita punya target mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada 2030 dan menuju bebas karbon pada 2060 yang akan datang. Kendaraan bermotor saat ini menyumbang emisi karbon sebesar 2,6 kg CO2/10 km sedangkan kendaraan listrik hanya 1,27 kg CO2/10 km," urai Mamit

Mamit menilai ini seharusnya menjadi peluang bagi PLN untuk mengambil posisi yang strategis untuk menerjemahkan apa yang dimaksud oleh Presiden Jokowi.

"Sebagai perusahaan yang besar dan satu-satunya di ketenagalistrikan maka PLN harus bisa mengambil momentum ini. Di tengah tekanan harga energi yang terus meningkat, pemerintah melindungi PLN dengan menjaga harga energi primer batu bara di angka USD 70 per metrik ton sehingga bisa bernapas lega meskipun ICP terus mengalami kenaikan seiring naiknya harga minyak dunia," jelas Mamit.

Baca juga: Edan, Dugaan Penyelewengan BBM Subsidi Tembus Hingga 257.455 Liter, Terbesar di 3 Provinsi Ini

Hanya saja, menurut dia PLN harus bisa meningkatkan efisiensi agar bisa membantu pemerintah untuk mengurangi beban subsidi dan kompensasi sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden.

"Sebagai badan usaha yang entitas bisnisnya sangat banyak, perlu kiranya ditata dan diperbaiki kembali proses bisnis yang dilakukan oleh PLN. Hal ini sangat penting, agar efisiensi yang Presiden maksud bisa dilakukan oleh PLN," ujar Mamit.

Menurut dia, saat ini lini bisnis yang dilakukan oleh PLN cukup banyak dan besar sehingga kinerja PLN tidak fokus dan cenderung bertumpuk-tumpuk baik dari sisi kinerja maupun tanggungjawab.

"Penumpukan unit bisnis yang sama membuat kinerja PLN kurang optimal dan menyebabkan adanya double cost atau double handling membuat inefisiensi dalam unit bisnis PLN sendiri. Dari sisi tanggung jawab masing-masing unit bisnis juga melebihi dari yang seharusnya dan bahkan cenderung terjadi pengulangan satu sama lain,"urai Mamit.

Mamit mencontohkan dari sisi pembangkitan saja, PLN memiliki beberapa anak perusahaan yang secara core bisnis sebenarnya sama. Hal ini menyebabkan adanya penumpukan unit bisnis dan tanggung jawab.

"Penumpukan ini suka tidak suka membuat PLN menjadi tidak efisien. Belum lagi terkait tanggung jawab, unit bisnis pembangkitan ini harus juga mengurusi pelayanan kepada masyarakat. Jadi, selain tidak efisien hal ini dapat menyebabkan kinerja unit pembangkitan tidak fokus dalam memberikan keandalan pasokan listrik,"jelas dia.

Menurut dia, di tengah kondisi ekonomi dan bisnis global yang sudah berubah serta bergerak dinamis ini maka PLN harus segera melakukan transformasi bisnis mereka agar bisa bisa bersaing dan pastinya lebih efisien lagi.

"Transformasi dan perbaikan tata kelola bisnis PLN adalah keharusan yang mesti disegerakan agar PLN tetap bertahan di tengah kondisi ekonomi dan bisnis global yang dinamis dan sulit ini serta tetap menjalankan fungsi Public Service Obligation (PSO) sebagaimana yang diamanatkan oleh pemerintah,"kata Mamit.

Selain itu, pemanfaatan sumber daya alam dalam negeri harus bisa dioptimalkan dalam rangka menjaga kedaulatan dan ketahanan energi nasional.

"Dengan demikian, kita tidak terpengaruh dengan situasi eksternal yang sewaktu-waktu bisa melambungkan harga energi seperti konflik Rusia dan Ukraina yang saat ini sedang berlangsung," jelas Mamit.

Dia juga menyarankan agar PLN bisa lebih lentur dan flexible dalam menghadapi tantangan yang demikian berat ini. Jika tidak, maka PLN bisa tertinggal dan tidak bisa menjalankan amanat yang disampaikan Presiden untuk lebih efisien, hemat dan mampu menutup yang kebocoran-kebocoran yang sudah terjadi.

"Saat ini semua perusahaan global sedang menuju ke arah bisnis yang modern, transparan dan pastinya menuju Environmental Social Governance (ESG). Melalui transformasi dan perbaikan tata kelola bisnis PLN, maka efisiensi yang minta Presiden bisa dicapai serta PLN tetap menjalankan bisnis mereka dengan tetap memperhitungkan Environmental Social Governance (ESG)," ungkap Mamit.

Baca juga: Jokowi Kembali Singgung Besarnya Subsidi Energi yang Dikeluarkan Pemerintah

Menurut dia, jika semua bisa dilakukan oleh PLN maka akan sangat membantu pemerintah untuk mengurangi beban subsidi dan kompensasi yang harus ditanggung.

"Kita ini net importir minyak sehingga di tengah harga minyak dunia yang tinggi seperti saat ini, sangat memberatkan bagi negara. Apalagi mata uang rupiah semakin tertekan oleh dolar AS menambah berat belanja yang dilakukan. Maka, sudah sepatutnya PLN bisa mensegerakan semua efisiensi di internal perusahaan," pungkas Mamit

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini