TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengusulkan kredit perumahan bisa dijadikan surat berharga sehingga dapat dijual-belikan di pasar sekunder.
Menurutnya, hal ini menjadi sesuatu terobosan yang sedang dipelajari oleh Kementerian Keuangan.
"Bagaimana jika kredit perumahan dijadikan surat berharga yang dapat diperjualbelikan di pasar sekunder? Konsep ini tengah dirumuskan dalam rangkaian acara menuju G20 Indonesia," kata Sri Mulyani dikutip dari instagramnya, Jumat (7/7/2022).
Baca juga: The Fed Kerek Suku Bunga Acuan, Ini yang akan Dihadapi Pemegang Kartu Kredit
Ia meyakini surat berharga bertujuan menciptakan pembiayaan yang lebih maju dari berbagai jenis aset, namun utamanya lebih ditujukan untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Menkeu menilai konsep ini dapat memenuhi kebutuhan dasar terhadap tempat tinggal.
"Sejak 2010 hingga pertengahan tahun ini, APBN telah menyalurkan subsidi senilai Rp85,7 triliun atau setara 1.038.538 unit rumah untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah," urai Sri Mulyani.
Pada tahun 2022, terang Menkeu, pemerintah menargetkan pemberian subsidi untuk 200.000 unit rumah melalui program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).
Sri Mulyani mengaku kenaikan inflasi membuatnya khawatir masyarakat semakin sulit untuk bisa membeli rumah.
Hal itu karena bank sentral besar kemungkinan akan menaikkan suku bunga, yang berimplikasi pada
kenaikan biaya kredit.
Saat ini bank sentral di beberapa negara sudah menaikkan suku bunga acuannya sejalan dengan
meningkatnya inflasi, meski Bank Indonesia (BI) memang belum mengambil kebijakan yang sama.
"Membeli rumah 15 tahun mencicil di awal yang berat suku bunganya dulu, principal-nya di belakang. Itu biasanya karena dengan harga rumah tersebut dan interest rate sekarang harus diwaspadai karena cenderung naik dengan inflasi tinggi," lanjutnya.
Baca juga: Pakar Perbankan Sarankan Menkeu Sri Mulyani Belajar dari Amerika Serikat Soal Penyelamatan Aset BLBI
Sri Mulyani mengatakan, kondisi itu dikhawatirkan akan membuat masyarakat semakin sulit membeli rumah karena semakin melebarnya gap antara daya beli dan harga rumah.
"Maka masyarakat akan makin sulit untuk membeli rumah," imbuh dia.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut menjelaskan, ekonomi global sedang menghadapi lonjakan inflasi yang utamanya dipicu inflasi pangan.
Lonjakan inflasi terjadi seiring dengan naiknya harga komoditas akibat perang Rusia dan Ukraina.
Sejumlah negara pun sudah mengalami kenaikan inflasi yang tinggi bahkan berisiko memunculkan stagflasi.
Seperti Amerika Serikat inflasi per Juni 2022 tercatat sebesar 8,6 persen, Italia 8 persen, Jerman 7,6 persen, dan Singapura 5,6 persen.
Baca juga: Pegawai Negeri Sipil di Sulawesi Utara Bisa Kredit Mobil Daihatsu Hingga 8 Tahun