TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perbankan syariah memiliki kesempatan untuk menggenjot pembiayaan kepemilikan rumah pada semester semester II 2022 hingga tahun depan.
Hal ini seiring dengan proyeksi kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia atau BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI-7DRR) yang telah bertahan selama 17 bulan terakhir.
Sebagaimana diketahui, BI menjatuhkan suku bunga acuan ke level paling rendah sepanjang sejarah pada Februari 2021 yakni menjadi 3,5 persen. Penurunan ini dilakukan secara bertahap setelah BI-7DRR menyentuh 6 persen pada Juni 2019.
Baca juga: Penyaluran KPR BCA Tembus Rp 100 Triliun Per 22 April 2022
Kendati demikian, perekonomian global dihantui inflasi tinggi sehingga Bank Sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (The Fed) mendorong kenaikan suku bunga acuan lebih agresif. Hal itu dinilai cepat atau lambat akan mempengaruhi suku bunga acuan di Indonesia untuk kembali merangkak lebih tinggi.
Terkait itu Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin menjelaskan dalam skenario tren kenaikan suku bunga acuan, bank syariah memiliki nilai jual lebih tinggi dibandingkan dengan bank konvensional dalam memasarkan pembiayaan kepemilikan rumah atau lebih dikenal dengan KPR syariah.
Baca juga: 4 Tips agar Lolos Pengajuan KPR untuk Membeli Rumah Pertama, Apa Saja?
“Saat BI rate naik, bank konvensional akan dalam posisi mau tidak mau menaikan suku bunga KPR mengikuti pasar [floating]. Bank syariah sudah dalam posisi menjual pembiayaan dengan cicilan tetap, sehingga tidak ada kenaikan cicilan,” katanya.
Dari sudut pandang konsumen, kata Amin, cicilan tetap akan lebih menarik dibandingkan dengan produk yang menawarkan suku bunga tak tetap mengikuti suku bunga acuan yang berangsur naik. Terlebih kondisi perekonomian ke depan dibayangi ketidakpastian tinggi seiring dengan konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina.
“Ada dua kesempatan di sini bagi bank syariah, ambil nasabah baru, atau ambil nasabah existing KPR bank konvensional,” tambah Amin.
Akan tetapi untuk mengambil kesempatan tersebut, dibutuhkan keberanian dan perhitungan yang matang. Bank syariah bisa bermain lebih agresif dengan menyasar generasi milenial. Salah satu syaratnya adalah berani menawarkan tenor panjang seperti KPR milenial yang diberikan bank konvensional.
Baca juga: KPR Bank Mandiri Tumbuh 7,6 Persen Jadi Rp 46,7 Triliun Pada Maret Lalu
Hal ini terkait pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang sebelumnya pernah menyinggung bahwa generasi milenial akan sulit membeli rumah, dikarenakan lonjakan inflasi. Hal itu dapat menjadi peluang bagi bank syariah dalam peningkatan pangsa pasar KPR.
Tingkatkan Penetrasi
Dia pun menyebut saat ini di Indonesia ada dua bank syariah yang mumpuni untuk memperdalam penetrasi KPR syariah. Yaitu PT Bank Syariah Indonesia Tbk atau BSI yang terafiliasi kepada pemerintah, dan PT Bank Muamalat Indonesia Tbk. Menurutnya, BSI saat ini berstatus sebagai bank syariah terbesar di Indonesia.
Oleh karena itu dari segi aset dan permodalan, BSI sangat pantas untuk berkompetisi dengan bank konvensional di dalam arena pembiayaan rumah. Kendati lahir pada awal 2021 atas merger 3 bank Syariah milik 3 bank BUMN, BSI kini menempati peringkat kelima di bisnis pembiayaan perumahan dengan total nilai Rp 41 triliun.
Baca juga: BFI Gandeng Sinarmas Land Hadirkan Program KPR untuk Karyawan
Calon bank syariah pertama berstatus BUMN ini berada di bawah BTN (Rp225 triliun), BCA (Rp98 triliun), BNI (Rp51 triliun), dan Mandiri (Rp47 triliun). Bahkan pada kuartal I 2022, BSI mencatat pertumbuhan pembiayaan rumah sebesar 8,44 persen secara tahunan atau year-on-year (yoy). Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata industri yang hanya sekitar 1 persen yoy.
Sementara itu, PT Bank Muamalat Tbk. saat ini disokong oleh modal kuat Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), yang memiliki saham 77,42 persen di bank syariah tersebut. “Kalau dua bank ini bergerak lebih agresif dengan meniru cara jualan bank konvensional, pangsa pasar KPR syariah akan naik signifikan,” kata Amin.
Kesempatan bank syariah mencuri nasabah KPR juga didukung oleh Customer Sentiment Study H2 2021 yang dirilis oleh Rumah.com. Data menunjukan sebanyak 35 persen responden memilih bank syariah untuk membiayai kepemilikan rumah dan 29 persen lainnya memilih KPR bank konvensional.
Sisanya memilih angsuran langsung ke pengembang (17 persen), tunai (16 % ) dan KPR nonbank (2 % ). Alasan paling banyak memilih KPR syariah adalah jumlah cicilan yang tetap (74 % ). Angka ini berada di atas persoalan keyakinan agama, yang tercatat 70 persen.
Terpisah, pengamat ekonomi syariah dari Institut Pertanian Bogor Irfan Syauqi Beik mengatakan untuk mendorong penetrasi pasar, bank syariah perlu meningkatkan kolaborasi dengan pemerintah terkait program pengadaan rumah. Selain itu kerja sama dengan pengembang untuk mencari skema pembiayaan bagi calon nasabah juga perlu ditingkatkan.
“Sehingga harga jual rumah bisa dijaga pada level yang terjangkau oleh kelompok sasaran pembiayaan,” katanya.
Hal ini diharapkan pula dapat menekan angka kekurangan hunian alias backlog. Mengutip data Direktorat Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian PUPR, jumlah backlog mencapai 12,7 juta.
Adapun mengutip data Otoritas Jasa Keuangan, per Maret 2022, pembiayaan rumah dari bank syariah senilai Rp 103,24 triliun atau naik 11,99 persen yoy. Secara persentase, angka ini telah meningkat dibandingkan dengan periode pandemi Covid-19, tetapi belum kembali ke level sebelum pandemi.
Pada periode yang sama KPR bank secara industri tumbuh 10,55 persen yoy, menjadi Rp556,09 triliun. Data industri mencatat pertumbuhan penyaluran KPR dalam tren positif seiring dengan pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19.