News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Ekonom: Subsidi BBM Tak Dibatasi, Pengeluaran Negara Bisa Jebol

Penulis: Sanusi
Editor: Muhammad Zulfikar
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi SPBU Pertamina. Inisiatif Pertamina untuk melakukan pendataan kendaraan yang mengkonsumsi produk bahan bakar minyak (BBM) jenis solar dan pertalite melalui digitalisasi dinilai sebagai langkah antisipatif dalam membatasi penjualan BBM bersubsidi.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Sanusi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Inisiatif Pertamina untuk melakukan pendataan kendaraan yang mengkonsumsi produk bahan bakar minyak (BBM) jenis solar dan pertalite melalui digitalisasi dinilai sebagai langkah antisipatif dalam membatasi penjualan BBM bersubsidi.

Upaya pembatasan dengan mengharuskan masyarakat melakukan registrasi  melalui aplikasi diharapkan dapat menekan konsumsi BBM subsidi  yang ditengarai bakal melebihi kuota.

“Mereka (Pertamina) baru membangun database monitoring yang diharapkan  terbentuk kesadaran masyarakat mampu yang seharusnya malu jika mengkonsumsi BBM bersubsidi,” kata Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra Talattov di Jakarta, Selasa (12/7/2022).

Baca juga: Tiga Jenis BBM Ini Naik, Berikut Rincian Harganya di 34 Provinsi

Abra mengungkapkan, apabila tidak ada pembatasan pembelian BBM bersubsidi,  potensi terjadinya over kuota sangat besar. Berdasarkan kalkulasi Abra, untuk solar hingga akhir tahun nanti ada potensi over kuota sekitar 15 persen dari kuota 14,91 juta KL menjadi 17,2 juta KL. Sementara itu, pertalite berpotensi over sekitar 24 persen dari alokasi 23,05 juta KL, menjadi sekitar 28 juta KL.

“Itu kalau tidak ada pembatasan dan tidak ada tambahan kuota. Ini siapa yang harus menanggung selisih harga dan potensi kerugian? Badan usaha yang menanggung?,” kata Abra.

Menurut dia, ada konsekuensi yang harus ditanggung oleh pemerintah apabila konsumsi BBM penugasan jenis pertalite melebihi kuota. Hal ini otomatis akan menambah pengeluaran pada APBN karena barang penugasan tersebut harus mendapatkan kompensasi.

”Makanya sebetulnya terobosan pendataan yang dilakukan Pertamina adalah untuk mengantisipasi apabila nanti pada Oktober-November 2022, kuota BBM subsidi-penugasan sudah terlampaui,” ujar dia.

Abra menyarankan pemerintah segera mengambil keputusan, menambah kuota atau dengan pembatasan pembelian. Saat ini ‘bola’ terkait upaya penyaluran subsidi ada di tangan pemerintah. Dengan demikian, harus ada kepastian bagaimana keingin pemerintah dalam menjaga stabilitas harga energi dan menjaga inflasi.

“Apakah all out menambah kuota BBM subsidi atau memang balance, tetap memberikan subsidi kompensasi dibarengi pengendalian BBM subsidi,” katanya.

Terkait platform digital untuk melakukan registrasi pengguna BBM subsidi, lanjut Abra, hal ini dilakukan agar paling tidak bisa sedikit memberikan pesan kepada masyarakat bahwa pemerintah memiliki keinginan melakukan pengendalian subsidi bbm bersubsidi. “Tapi seharusnya bisa lebih fundamental harus ada kebijakan solid dan tegas,” katanya.

Abra mengungkapkan, agar subsidi BBM tepat sasaran harus ada reformasi subsidi menjadi bersifat tertutup sehingga sasarannya langsung kepada individu atau rumah tangga.

Baca juga: Pemerintah Godok Revisi Aturan BBM Subsidi Tepat Sasaran

Subsidi Membesar

Secara terpisah, pengamat ekonomi energi dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Yayan Satyakti, mengungkapkan apabila pemerintah masih menganggarkan subsidi, artinya pemerintah siap dengan biaya yang memang akan semakin besar.

“Jika saya lihat, pemerintah dan DPR masih tetap akan mempertahankan subsidi BBM untuk menjaga konsumsi dan dan popularitas politik hingga pemerintah Jokowi berakhir,” katanya.
 
Yayan menilai  pemerintah sangat mementingkan stabilitas konsumsi.   Jika pun ekonomi jatuh atau kolaps, model subsidi ini akan selalu dijaga oleh pemerintah guna mengiringi dampak countercyclical pada sisi konsumsi.

“Kita memang akan membakar BBM yang lebih banyak dan subsidi lebih banyak, tetapi itu akan menahan konsumsi dan mengangkat supply menjadi lebih besar,” ujar dia.

Baca juga: Luhut Ungkap Besaran Subisidi BBM Tiap Mobil dan Motor, Akan Dikurangi?

Akan tetapi, lanjut Yayan, kebijakan mempertahankan subsidi  harus dikombinasikan dengan kebijakan moneter dari BI yang juga harus menjaga nilai tukar dan inflasi. “Saya kira mempertahankan konsumsi (kontribusi konsumsi 50-55 persen dari GDP) saat ini lebih baik dari pada turun karena jika turun produktivitas akan turun,” ujarnya.

Yayan melanjutkan, apabila melihat harga keekonomian pertamax yang di kisaran Rp18.000-19.000 dan pertalite di Rp16.000- 17.000,  kondisi beban subsidi saat ini berat. Apalagi nilai kurs tukar dollar terhadap rupiah saat ini mencapai Rp15.000 per dolar AS.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini