Laporan Wartawan Tribunnews.com Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, BURMA – Perusahaan energi asal Prancis TotalEnergies resmi menarik cabang usahanya yang ada di Myanmar.
Penghentian ini dilakukan Prancis sebagai bentuk protes akan adanya aksi kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh kelompok militer Junta.
“TotalEnergies tidak lagi dapat memberikan kontribusi yang cukup positif di negara ini,” jelas pengumuman yang dirilis TotalEnergies.
Baca juga: Myanmar Mengeksekusi 4 Aktivis Anti-kudeta, Picu Kecaman dan Kemarahan Internasional
Situasi politik Myanmar yang kian pelik akibat kudeta yang dilakukan Junta atau pasukan keamanan Myanmar, telah membuat dunia geram dan mengutuk aksi keji yang dilakukan kelompok militer tersebut.
Sebagai informasi Junta sendiri dibentuk pada Februari tahun 2021 silam dengan tujuan untuk menggulingkan pemerintah Kanselir Aung San Suu yang dituduh telah mencurangi pemilihan parlemen pada November 2020 lalu.
Namun seiring waktu kelompok Junta justru bertindak lebih jauh dan terus mencampuri urusan politik Myanmar, tak tanggung – tanggung bahkan kelompok ini nekat menghabisi lebih dari 1.400 nyawa warga Myanmar yang melawan pemerintahan Junta.
Alasan inilah yang membuat perusahaan TotalEnergies menutup seluruh operasinya ladang minyak lepas pantai utama Yadana di Myanmar pada 20 Juli 2022 kemarin.
Tak hanya itu saja TotalEnergies juga turut melepas kepemilikan saham sebanyak 31,4 persen dari kemitraannya dengan perusahaan transportasi gas MGTC di Myanmar.
Mengutip dari Anadolu Agency, penarikan ini sebenarnya sudah lama direncanakan TotalEnergies, tepatnya sejak 21 Januari tahun 2021 disaat kudeta Junta mulai menyerang Myanmar.
Namun karena TotalEnergies, memiliki peran penting bagi produksi energi di Myanmar membuat perusahaan migas ini hanya memberikan hukuman berupa penghentian semua proyek kecuali untuk produksi minyak di lapangan Yadana yang terletak di Laut Andaman.
Tercatat sejauh ini Ladang Yadana yang dikendalikan TotalEnergies menghasilkan lebih dari 6 miliar meter kubik minyak per tahun.
Baca juga: Berita Foto : Melihat Kamp Pelatihan Penentang Junta Militer Myanmar
Dari jumlah ini 30 persen minyak yang dihasilkan dipasok ke MOGE, perusahaan migas negara untuk keperluan domestik. Sedangkan 70 persen sisanya diekspor ke perusahaan migas Thailand yaitu PTT.
Usai TotalEnergies resmi meninggalkan Myanmar, dikabarkan saham dan operasi dari perusahaan energi Prancis ini akan diambil alih oleh dua perusahaan publik Thailand yaitu Chevron dan PTTEP.
Ramai-ramai Angkat Kaki
Awal Februari lalu, raksasa perkapalan Taiwan, Evergreen Marine, mengatakan kepada AFP pihaknya tidak lagi menggunakan pelabuhan militer di Yangon. Sebagai gantinya, kapal-kapal kontainer akan melabuh di kota lain.
British American Tobacco juga sudah angkat kaki Oktober 2021. Padahal, produsen rokok multinasional itu mempekerjakan sekitar 100.000 buruh di Myanmar sebelum kudeta.
Baca juga: Oposisi Myanmar Sambut Baik Junta Militer Tidak Diundang KTT ASEAN
Saat ini masih ada sejumlah perusahaan asing yang bertahan di Myanmar. Suzuki misalnya.
Selan itu konglomerat hotel Prancis, Accor, yang memiliki sembilan hotel di Myanmar mengaku "telah membuat keputusan bertahan di Myanmar untuk sementara waktu dan terus mendukung” 1.000 pegawainya di Myanmar, kata perusahaan dalam keterangan persnya, Jumat (11/02) lalu.