Meski Moody's Investor Services telah menurunkan peringkat negara yang diperintah komunis ini menjadi 'junk' pada bulan Juni lalu. Namun menurut IMF, Laos masih memiliki cadangan uang sebesar 1,3 miliar dolar AS per Desember tahun lalu.
Baca juga: Sri Lanka akan Negosiasikan Paket Utang Darurat 4 Miliar Dolar AS dengan China
2. Maladewa
Mengutip dari CNBC International, Maladewa telah mengalami pembengkakan utang publiknya hingga nilainya melampaui di atas 100 persen dari PDB-nya.
Ketua Majelis Rakyat (Parlemen Maladewa) dan mantan Presiden Mohamed Nasheed mencatat total utang Maldives pada China sudah melonjak jadi 3,5 miliar dolar AS.
Lonjakan ini terjadi setelah sektor pariwisata negara kepulauan ini redup akibat dihantam pandemi Covid-19 selama beberapa tahun terakhir.
Alasan inilah yang membuat Maladewa mengalami penurunan pendapatan hingga pihaknya nekat melakukan pinjaman dalam jumlah yang fantastis, untuk mengimpor bahan bakar di tengah kenaikan harga minyak mentah dunia.
Baca juga: Utang Perusahaan Migas Eropa Menumpuk, Melonjak 50 Persen Sejak Pandemi
3. Mongolia
Negara kecil yang berada di timur Asia ini diketahui memiliki rasio utang sebesar 60 persen terhadap PDB.
Kenaikan ini lantas mengantarkan lonjakan inflasi Mongolia, Bank Pembangunan Asia mencatat laju inflasi tahunan Mongolia saat ini telah mencapai 12,4 persen. Lompat jauh apabila dibandingkan dari inflasi di tahun sebelumnya.
Krisis finansial yang dihadapi Mongolia akibat terpukul lonjakan harga pangan dan energi pasar global, ketergantungan Mongolia pada produk impor membuat negara ini harus menguras kantongnya demi mencukupi kebutuhan pangan dan energi pada jutaan warga negaranya.
4. Papua Nugini
Menyusul yang lainnya, Papua juga mengalami pembengkakan utang yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Bahkan total pinjaman negara ini nilainya telah melesat ke rekor tertinggi, dengan seperempat utang atau senilai 2 miliar dolar AS dipinjam Papua Nugini dari China.
Mengutip dari situs AFP, melonjaknya utang Papua Nugini terjadi imbas adanya pembengkakan biaya untuk membangun sejumlah infrastruktur negara serta untuk peningkatan produksi PNG di negaranya. Namun lantaran sektor PNG Papua Nugini terus menghadapi gangguan, membuat operasi dari PNG negara ini gagal bersaing dengan produsen energi lainnya.