TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar ekonomi dan bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) Profesor Mudrajad Kuncoro menilai positif raihan laba bersih Pertamina pada 2021 sebesar Rp29,3 Triliun.
Capaian itu harus diapresiasi dan tidak apple to apple jika dibandingkan dengan capaian Petronas Malaysia.
“Ini kan luar biasa. Meningkat 95 persen dari laba bersih tahun sebelumnya. Tetapi memang tidak apple to apple dibandingkan Petronas yang meraih laba Rp159,7 T. Sebab, Pertamina juga harus menjalankan PSO di seluruh Indonesia, yang merupakan amanah Pasal 33 UUD 1945,” kata Mudrajad kepada media hari ini (4/8/2022).
Baca juga: Erick Thohir Sebut Kinerja Pertamina dan Petronas Tak Bisa Dibanding-bandingkan, Ini Alasannya
Pertamina, lanjut Mudrajad, memang menghadapi dilema.
Di satu sisi sebagai persero dituntut meraih laba sebanyak-banyaknya.
Namun sebagai pengemban public service obligations (PSO), BUMN tersebut juga harus siap merugi. Pasalnya, melalui PSO, harga produk yang disubsidi Pemerintah tersebut, seperti Solar dan Pertalite, dikendalikan Pemerintah.
“Jadi, harga-harga dikendalikan Pemerintah atas nama pembangunan, sesuai amanah Pasal 33 UUD 1945,” lanjutnya.
Menurut Mudrajad, soal PSO itulah yang membedakan antara Pertamina dan Petronas.
Apalagi, penugasan yang diterima Pertamina meliputi seluruh wilayah NKRI yang sangat luas dengan kondisi geografis yang sulit.
“Itu satu (yang membedakan). Selain itu, dalam praktik, pasti ada dilema, antara memenuhi amanah UU dengan amanah UU tentang Perseoran Terbatas. Karena terkait UU tentang PT harus lari 100 Km/jam. Tetapi kalau bicara PSO, harus soal pemerataan karena 27% rakyat kita masih di bawah garis kemiskinan. Makanya, itu tadi, Pertamina harus menjual produk subsidi yang harganya sudah ditentukan Pemerintah. Dan itu tidak mudah,” papar Mudrajad.
Baca juga: Harga BBM Pertamina Hari Ini, 4 Agustus 2022: Pertamax Paling Mahal Rp13.000, Turbo Rp18.600
Itu sebabnya, Mudrajad memberi apresiasi kepada Pertamina atas raihan laba bersih 2021 sebesar Rp29,3 Triliun tadi.
Terlebih, Pertamina juga masih berkontribusi melalui pajak sebesar Rp126,7 Triliun rupiah dan juga Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) sebesar Rp73,1 Triliun.
Menurut Mudrajad, lonjakan laba bersih sebesar 95 persen dibandingkan tahun lalu, karena Pertamina berhasil menjalankan efisiensi dengan baik.
“Efisiensi Pertamina lumayan, dan harus diakui. Cost Saving yang dilakukan Pertamina, menghemat USD1,3 Miliar, Cost Optimization menghemat USD2,2 Miliar USD, dan Cost Avoidance sebesar USD350 Juta,” kata dia.
Sebelumnya pemerhati migas yang juga penggiat media sosial, Erizeli Bandar juga menyebut bahwa memang tidak apple to apple membandingkan Pertamina dan Petronas hanya dari segi laba.
Terlebih dari sisi kinerja, melalui analisis finansial, jelas bahwa peningkatan laba 95 persen justru lebih baik dibandingkan Petronas.
Erizeli juga menyebut, bahwa terdapat beberapa perbedan antara Pertamina dan Petronas, yang membuat keduanya tidak serta-merta dapat dibandingkan.
Baca juga: Wujudkan Komitmen Pelestarian Budaya, Pertamina Beri Dukungan Pengembangan Sekolah Tari
Pertama. Petronas beroperasi sebagai entititas bisnis murni dan independen. Dalam hal ini, semua sumber daya alam (SDA) migas Malaysia dimiliki Petronas. Sedangkan Pertamina hanya sebagai operator. Karena semua SDA migas dimiliki negara lewat SKK Migas.
Selain itu, kapasitas kilang Petronas juga lebih besar dari Pertamina. Indonesia terakhir membangun kilang 25 tahun. Barulah pada era Jokowi, rencana pembangunan kilang dilaksanakan.
Sedangkan di sisi hilir, skema bisnis Petronas tidak terdapat penugasan pemerintah. Sementara Pertamina ada penugasan. “Jadi sulit mencapai IRR komersial,” kata dia.