TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Rencana pemerintah melakukan kebijakan redenominasi mata uang kini kembali menguat.
Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia (BI) kembali menggulirkan rencana redenominasi alias penyederhanaan uang rupiah (redenominasi rupiah 2020).
Redenominasi rupiah berupa menghilangkan tiga 0 dibelakang rupiah dari Rp 1.000 menjadi Rp 1 kembali mengemuka.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, redenominasi rupiah dapat mengefisiensikan kegiatan ekonomi sehari-hari.
Baca juga: Benarkah Angka Nol Kecil dalam Uang Baru Rp 75 Ribu Berkaitan dengan Redenominasi? Ini Tanggapan BI
"Dari sisi ekonomi memang ada banyak manfaat mengenai redenominasi itu. Terutama adalah masalah efisiensi," ujarnya saat koferensi pers virtual, Rabu (24/8/2022).
Pengurangan tiga digit 0 di nominal rupiah, kata dia, dapat mempercepat transaksi sehari-hari.
Misalnya untuk pecahan Rp 1.000 dalam pengucapan maupun penulisan pada transaksi sehari-hari tentu akan lebih panjang ketimbang jika menggunakan nominal Rp 1.
Kemudian, pada proses penghitungan uang atau saat membaca laporan keuangan, tentu akan lebih mudah jika redenominasi rupiah telah dilakukan.
"Kemudian kecepatan untuk melakukan transaksi. Transaksi tanpa 0 tiga ya, penyebutannya dan penyelesaian transaksi jauh lebih cepat," jelasnya.
Selanjutnya, redenominasi juga mengefisiensikan perekonomian di sisi teknologi, terutama dalam transaksi keuangan.
Jika tiga angka 0 dihapus maka akan menyederhanakan proses penghitungan seperti di perbankan yang biasanya dilakukan menggunakan teknologi.
Kemudian, saat seseorang berbelanja di supermarket, mesin kasir akan lebih mudah menghitung jumlah belanjaan jika tiga angka 0 dalam rupiah dihapus.
"Berapa efisiensi untuk misalnya digit dalam teknologi? Itu kalau kita lihat penggunaan teknologi di dalam berbagai sektor ekonomi, pemerintah, perbankan, dunia usaha sangat besar.
Perry bersama ISEI telah melakukan kajian terkait redenominasi rupiah dan menemukan berbagai manfaat dari sisi ekonomi tersebut.
Baca juga: Rupiah Khusus Rp 75.000 Dikaitkan dengan Redenominasi, Begini Penjelasan BI
"Secara kajian, memang redenominasi itu banyak manfaat," tambahnya.
ISEI pun telah menyampaikan pandangan terkait redenominasi ini kepada pemerintah.
Namun untuk pelaksanaan redenominasi rupiah ini tergantung bagaimana keputusan pemerintah.
"Pandangan-pandangan itu, kita serahkan sepenuhnya kepada pemerintah. Karena pemerintah khususnya, banyak pertimbangan-pertimbangan lain yang non-ekonomi," tukasnya.
Bukan Hal Baru
Diberitakan sebelumnya, redenominasi sebenarnya bukan hal baru dan wacana ini sudah ada sejak puluhan tahun lalu.
Pro dan kontra mewarnai wacana redenominasi tersebut, isunya timbul tenggelam digantikan riuh politik di Indonesia dan tak benar-benar direalisasikan hingga saat ini.
Pada tahun 2017, pertama kalinya Kementerian Keuangan bersama BI mengajukan RUU Redenominasi Mata Uang secara resmi.
Saat itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani bersama Gubernur BI (periode 2013-2018) dan Gubernur BI Agus DW Martowardojo mengajukan permohanan RUU Redemoninasi Mata Uang kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Awalnya, pelaksanaan redenominasi rupiah ditargetkan bisa terealisasi pada 1 Januari 2020. Namun landasan hukumnya belum juga keluar.
Baca juga: Redenominasi Rupiah Cocoknya Direalisasikan di Empat Tahun Lagi Setelah Pandemi Covid-19 Selesai
Wacana redenominasi pun kembali dilanjutkan, namun pembahasan payung hukumnya tak pernah selesai hingga berakhirnya masa kerja DPR periode 2014-2019.
Sejak 2018 hingga 2020, RUU Redenominasi Rupiah 2020 tidak masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas).
Kini rencana redenominasi rupiah kembali dilanjutkan di tengah pandemi Covid-19. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024.
Lalu apa itu redenominasi? Dikutip dari KBBI, redenominasi artinya penyederhanaan nilai mata uang rupiah tanpa mengubah nilai tukarnya.
Redenominasi berbeda dengan sanering atau pemotongan (nilai) uang. Sanering pernah dilakukan Indonesia pada tahun 1959. Saat itu, pecahan Rp 500 dan Rp 1.000 diturunkan nilainya masing-masing menjadi pecahan Rp 50 dan Rp 100.
(Kompas.com/Isna Rifka Sri Rahayu/Akhdi Martin Pratama/Muhammad Idris)