News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

BBM Bersubsidi

Saat Sri Mulyani Bicara Soal Subsidi BBM, Gedung Puskesmas dan Harga Keekonomian Pertalite

Editor: Hendra Gunawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Salah satu SBPU di Kabupaten Serang -

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Anggaran subsidi energi yang digelontorkan oleh pemerintah dianggap telah memberatkan pemerintah.

Alokasi anggaran subsidi dan kompensasi energi sebesar Rp 502,4 triliun saat ini telah hampir habis.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, nilai subsidi tersebut merupakan angka yang sangat besar.

Ia gambaran besarnya anggaran subsidi energi dengan perbandingan pembangunan infrastruktur di berbagai sektor.

Salah satunya pada sektor kesehatan. Menurutnya, anggaran Rp 502,4 triliun itu setara dengan pembangunan 3.333 rumah sakit skala menengah dengan perkiraan biaya Rp 150 miliar per rumah sakit.

Baca juga: Konsumsi BBM Subsidi Tak Tepat Sasaran, Menkeu: Ratusan Triliun Anggaran Dinikmati Orang Kaya

"Jadi kalau Menteri Kesehatan misalnya minta anggaran bisa membangun rumah sakit sampai ke seluruh pelosok, itu kita bisa bangun sebanyak 3.333 rumah sakit," ujarnya dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Keuangan, Jumat (26/8/2022) dikutip dari Kompas.com.

Selain itu, anggaran tersebut juga cukup untuk membangun sebanyak 41.666 puskesmas di seluruh pelosok Indonesia.

Perhitungan ini berdasarkan perkiraan biaya pembangunan sebesar 12 miliar per unit.

Kemudian anggaran sebanyak Rp 502,4 triliun itu setara pula dengan pembangunan sebanyak 226.886 gedung sekolah dasar.

Asumsinya, per gedung sekolah memakan biaya Rp 2,19 miliar. Tak hanya itu, anggaran subsidi energi juga setara dengan pembangunan ruas tol baru sepanjang 3.501 kilometer (KM) dengan perkiraan memakan biaya sebesar Rp 142,8 miliar per kilometer.

"Dengan dana Rp 502 triliun tadi, itu kita bisa bikin ruas tol sepanjang 3.500 kilometer. Mungkin ini (setara) bisa menyelesaikan semua tol di Sumatera, bahkan lewat, karena kemarin kan masih ada yang belum tersambung," jelas Sri Mulyani.

Ia menekankan, angka-angka itu dimaksudkan untuk memberi gambaran terhadap upaya pemerintah menjaga harga jual energi di masyarakat agar tidak naik seiring melonjaknya harga komoditas dunia, dengan menganggarkan subsidi dan kompensasi energi sebesar Rp 502,4 triliun.

Nilai subsidi dan kompensasi itu pada dasarnya sudah bertambah dari alokasi semula yang sebesar Rp 152,1 triliun.

Namun, anggaran itu berpotensi naik kembali jika tidak ada kebijakan pengendalian oleh pemerintah.

Berdasarkan penghitungan terkini, anggaran subsidi dan kompensasi energi berpotensi naik sebesar Rp 195,6 triliun atau menjadi sekitar Rp 698 triliun.

Baca juga: Rencana Kenaikan Harga BBM Subsidi Munculkan Usulan Pemberian BLT Ala SBY

Ini dikarenakan konsumsi Pertalite dan Solar diperkirakan melebihi kuota, seiring dengan naiknya harga minyak mentah dan melemahnya kurs rupiah.

"Jadi (gambaran) ini hanya untuk memberikan sense of magnitude bahwa ini adalah angka yang sangat besar dan sangat riil, dan Rp 502 triliun ini masih belum cukup, masih akan berpotensi menambah Rp 195 triliun lagi," pungkasnya.

Jelaskan Harga Pertalite Seharusnya

Pada sisi lain, bendahara negara tersebut menjelaskan, harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis Solar dan Pertalite saat ini tidak sesuai dengan harga keekonomian.

"Ini artinya harga solar jauh di bawah keekonomian hanya 37 persen dari harga keekonomian. Kalau menggunakan hitungan dolar AS di Rp 14.700 dan harga minyak 105 dolar AS, harusnya harga Solar Rp 13.950 per liter," ujarnya dalam konferensi pers di Gedung Kementerian Keuangan, Jumat (26/8/2022).

Karena itu, pengguna Solar mendapatkan subsidi 63 persen dari harga keekonomian atau sebesar Rp 8.800 per liter.

Kemudian, Sri Mulyani juga menjelaskan, untuk Pertalite juga sama yakni harga sekarang Rp 7.650 per liter, jauh di bawah harga keekonomian.

Baca juga: Pengamat: BBM Subsidi Harus Tepat Sasaran, Selama Ini Justru Dinikmati Masyarakat yang Mampu

"Kalau hitungan minyak dunia 105 dolar AS dan kurs Rp 14.700 per dolar AS, maka harga Pertalite harusnya di Rp 14.450 per liter," katanya.

Menurut dia, artinya konsumen dari Pertalite sekarang ini mendapatkan subsidi dari pemerintah sebanyak Rp 6.800 per liter.

Seperti diberitakan, pemerintah tengah mempertimbangkan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi karena harga minyak dunia mengalami fluktuasi dan berada di level yang cukup tinggi.

Hal itu ditambah lagi, kuota BBM subsidi yang disalurkan Pertamina kian tipis.

Hal tersebut berdampak kepada anggaran subsidi energi, khususnya BBM yang meningkat tajam, dan berpotensi rawan jebol.

Terkait polemik wacana naiknya harga BBM subsidi ini, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan sebagian besar anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite dan Solar dinikmati oleh orang kaya.

Hanya sedikit dari anggaran BBM subsidi itu yang dinikmati oleh orang miskin.

Dari anggaran subsidi dan kompensasi energi yang ditetapkan sebesar Rp502,4 triliun, mencakup alokasi untuk Pertalite sebesar Rp93 triliun dan alokasi untuk Solar sebesar Rp143 triliun.

Sayangnya, anggaran Pertalite dan Solar itu malah lebih banyak dinikmati oleh orang kaya.

Sebab banyak orang dengan daya ekonomi yang mampu lebih memilih mengkonsumsi BBM bersubsidi.

"Solar dalam hal ini dari Rp143 triliun itu sebanyak 89 persen atau Rp 127 triliunnya yang menikmati adalah dunia usaha dan orang kaya," ujar Sri Mulyani.

Begitu pula dengan Pertalite, dari anggaran Rp93 triliun yang dialokasikan untuk biaya kompensasi, sekitar Rp83 triliun dinikmati oleh orang kaya.

Artinya hanya sedikit masyarakat miskin yang mendapat subsidi dan kompensasi energi.

"Dari total Pertalite yang kita subsidi itu Rp 83 triliunnya dinikmati 30 persen terkaya," katanya.

Oleh sebab itu, pemerintah saat ini tengah berupaya untuk membuat kebijakan yang mendorong konsumsi Pertalite dan Solar bisa tepat sasaran.

Terlebih anggaran subsidi dan kompensasi energi bisa bertambah Rp 198 triliun jika tidak ada kebijakan pengendalian dari pemerintah. (Tribunnews.com/Yanuar R Yovanda/Kompas.com/Yohana Artha Uly/Akhdi Martin Pratama)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini