News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Aliran Gas Rusia ke Eropa Tidak akan Dilanjutkan Sampai Sanksi Barat Dicabut

Penulis: Namira Yunia Lestanti
Editor: Seno Tri Sulistiyono
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pipa Nord Stream 1 telah beroperasi sejak tahun 2011 dan merupakan pipa gas tunggal terbesar yang mengalirkan gas Rusia ke Eropa Barat.

Laporan Wartawan Tribunnews, Nur Febriana Trinugraheni

TRIBUNNEWS.COM, MOSKOW - Kremlin mengumumkan pasokan gas Rusia ke Eropa tidak akan dilanjutkan hingga sanksi Barat yang diterima Moskow dicabut.

Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov mengatakan pada Senin (5/9/2022) kemarin, sanksi Barat adalah satu-satunya alasan di balik penutupan pipa Nord Stream 1 (NS1) yang mengalirkan gas Rusia ke Jerman.

Kremlin awalnya mengatakan NS1 ditutup karena adanya proses pemeliharaan.

"Masalah pemompaan (Gas) muncul karena sanksi yang dijatuhkan terhadap negara kami dan terhadap sejumlah perusahaan oleh negara-negara Barat, termasuk Jerman dan Inggris. Tidak ada alasan lain yang bisa menyebabkan masalah pemompaan ini,” kata Peskov, yang dikutip dari Al Jazeera.

Baca juga: Harga Gas di Eropa Melonjak 30 Persen Setelah Rusia Tutup Kembali Aliran Pipa Nord Stream

Peskov menambahkan, sanksi Barat telah menyebabkan proses perbaikan pipa Nord Stream 1 tertunda.

“Sanksi yang mencegah unit-unit tersebut diservis, yang mencegah mereka dipindahkan tanpa jaminan hukum yang sesuai, sanksi-sanksi inilah yang dikenakan oleh negara-negara Barat yang telah membawa situasi seperti yang kita lihat sekarang,” tambah Peskov.

Pernyataan Peskov datang di tengah krisis energi yang terjadi di Eropa, yang diperparah setelah raksasa energi Rusia Gazprom mengumumkan pada Jumat (2/9/2022) lalu, proses pemeliharaan NS1 selama tiga hari karena adanya kebocoran di salah satu turbinnya, akan diperpanjang tanpa batas waktu.

Pipa Nord Stream 1 telah beroperasi sejak tahun 2011 dan merupakan pipa gas tunggal terbesar yang mengalirkan gas Rusia ke Eropa Barat.

Uni Eropa telah mengecam keputusan Gazprom tersebut. Juru Bicara Komisi Eropa mengatakan penghentian aliran gas melalui NS1 dilakukan dengan "dalih keliru".

Uni Eropa berulang kali menuding Rusia sengaja mengurangi aliran gasnya sebagai balasan atas sanksi Barat.

Amerika Serikat (AS) juga menuduh Rusia menggunakan energi sebagai senjata, dan mengatakan Eropa akan memiliki cadangan gas yang cukup untuk menghadapi musim dingin mendatang.

“AS dan Eropa telah berkolaborasi untuk memastikan pasokan yang cukup tersedia. Sebagai hasil dari upaya ini, penyimpanan gas Eropa akan penuh pada musim pemanasan musim dingin yang kritis. Kami memiliki lebih banyak pekerjaan yang harus dilakukan," kata seorang pejabat Gedung Putih.

Kenaikan Harga Gas

Sementara itu, harga gas telah mencapai rekor tertinggi baru, naik 30 persen pada perdagangan hari Senin (5/9/2022) kemarin, yang memaksa negara-negara di Eropa mempercepat pencarian sumber alternatif pengganti gas Rusia.

Baca juga: Analis Prediksi Harga Gas Melonjak ke Level Tertinggi, Dampak Rusia Tutup Pipa Utama Nord Stream

Pasar keuangan juga segera bereaksi dengan keputusan Gazprom untuk menutup aliran NS1, dengan melemahnya nilai euro ke level terendah dalam 20 tahun terakhir pada Senin kemarin.

"Aliran gas telah dibatasi bahkan lebih dari yang diharapkan dan kami telah melihat bukti penurunan permintaan yang membebani aktivitas. Kami sekarang memperkirakan Euro jatuh lebih jauh di bawah paritas ($0,97) dan tetap di sekitar level itu selama enam bulan ke depan," kata ahli strategi di Goldman Sachs, Michael Cahill.

Kanselir Jerman Olaf Scholz pada hari Minggu (4/9/2022) lalu mengumumkan bantuan senilai 65 miliar dolar AS untuk membantu warga dan pelaku bisnis di Jerman mengatasi kenaikan harga energi yang melonjak.

Baca juga: Gazprom Putus Pipa Nord Stream 1, Biaya Impor Energi Italia Melambung Hingga 100 Miliar Euro.

Negara-negara di seluruh Eropa juga sedang mempertimbangkan langkah serupa untuk membantu konsumen di negaranya bertahan di tengah kenaikan harga energi.

Italia salah satunya, yang baru-baru ini menyetujui paket bantuan senilai 17 miliar dolar AS untuk melindungi perusahaan dan konsumen rumah tangga dari lonjakan harga energi dan inflasi.

Finlandia dan Swedia pada hari Minggu kemarin juga mengumumkan rencana untuk menawarkan jaminan likuiditas bernilai miliaran dolar AS kepada perusahaan energi mereka.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini