Laporan Wartawan Tribunnews.com Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON – Lonjakan greenback atau mata uang kertas dolar Amerika Serikat (AS) yang terjadi selama beberapa bulan terakhir, telah membuat utang global menyusut untuk pertama kalinya sejak tahun 2018.
Pengetatan kebijakan moneter yang dilakukan bank sentral The Fed dengan terus mengerek naik suku bunga acuan ke level tertinggi demi menurunkan laju inflasi di Amerika hingga menyentuh angka 2 persen, secara tidak langsung telah memicu penguatan nilai pada mata uang dolar AS.
Hingga membuat dolar AS mencatatkan diri sebagai aset safe haven dengan kinerja paling baik sepanjang tahun ini.
Baca juga: Utang Luar Negeri Indonesia Rp 5.944 Triliun di Triwulan II-2022
Maksud aset safe haven sendiri ialah aset investasi yang mempunyai tingkat risiko rendah, ketika perekonomian global bergejolak.
Dalam perdagangan Kamis (15/9/2022) indeks dolar AS yang mengukur greenback naik naik 0,09 persen menjadi 109,7 mendekati puncak tertingginya di tahun 2020 dimana saat itu dolar dipatok 110,79.
Kenaikan tersebut bahkan mengantarkan dolar sebagai raja mata uang dengan nilai tertinggi selama tahun 2022, tercatat saat ini dolar AS telah naik sebanyak 11 persen.
Adanya peningkatan nilai dolar AS yang didukung oleh kenaikan biaya pinjaman dari bank sentral lantas mendorong penurunan utang global di negara – negara berkembang seperti AS dan Kanada sebanyak 5,5 triliun dolar AS.
Hingga utang dunia menyusut menjadi 300 triliun dolar AS, dikutip dari data Institute of International Finance (IIF).
"Sementara sebagian besar dari ini adalah efek penilaian, perlambatan cepat dalam penerbitan utang juga berkontribusi," Emre Tiftik, direktur penelitian keberlanjutan di IIF.
Sayangnya penguatan dolar tak sepenuhnya berhasil mengantarkan penurunan utang bagi negara – negara berkembang, justru mendorong terjadinya peningkatan produk domestik bruto (PDB).
Ini terjadi lantaran sikap hawkish yang diambil The Fed, telah mendorong mata uang selain dolar AS ambruk ke level terendah dan membuat 16 dari 35 perdagangan di sejumlah negara berkembang terancam hancur karena mereka gagal melakukan transaksi impor minyak dan bahan pangan di tengah lonjakan harga dan devaluasi atau penurunan nilai mata uang.