Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah menyatakan pelanggan listrik PLN 900 VA yang merupakan migrasi dari pelanggan dengan daya listrik 450 VA, tetap akan mendapat subsidi dari pemerintah.
Said mengingatkan, Indonesia perlu melakukan peralihan energi dari berbasis minyak bumi menuju energi listrik karena memiliki ketergantungan impor yang sangat besar terhadap minyak bumi.
Kemampuan produksi minyak bumi Indonesia hanya 614 ribu sampai 650 ribu barel per hari, sementara kebutuhan kita mencapai 1,4 juta 1,5 juta barel per hari.
"Ketergantungan terhadap impor minyak bumi mengakibatkan kita terjebak dalam posisi sulit yang sering kita hadapi berulangkali, seperti kenaikan harga minyak bumi dan kurs kian memojokkan Indonesia dalam posisi sulit," kata Said dalam keteranganya, Senin (19/9/2022).
Menurut Said, APBN pun harus mengongkosi subsidi yang kian besar, sehingga postur APBN tidak sehat dan rentan. Bila ongkos tersebut dikurangi berakibat harga bahan bakar minyak (BBM) naik, dan menimbulkan beban kepada rakyat.
"Kita harus keluar dari jebakan minyak bumi," lanjutnya. Saat ini, Indonesia memiliki produksi listrik di dalam negeri yang sangat besar, yang sanggup menopang kebutuhan energi di dalam negeri.
Baca juga: APBN Bisa Lebih Sehat, Ekonom Setuju Subsidi Listrik dan BBM Dihapus Bertahap
Said menegaskan, inilah ihwal yang melatar belakangi agar Indonesia segera beralih energi dari minyak bumi ke listrik.
"Sebagian besar pembangkit listrik kita dipenuhi dari batubara. Pasokan batu bara kita sangat besar, sehingga tidak bergantung terhadap suplai impor layaknya minyak bumi. Dampaknya kekuatan energi kita lebih mandiri, sambil secara perlahan kita melepaskan diri dari batu bara dan mengganti pembangkit listrik kita menggunakan energi baru dan terbarukan (EBT)," katanya.
Baca juga: Cara Dapat Subsidi Listrik PLN Bulan September, Simak Cara Ceknya
Terkait agenda peralihan energi dari minyak bumi ke listrik, Said pun memberikan gambaran terperinci.
Pertama, sebanyak 9,55 juta Rumah Tangga (RT) berdaya listrik 450 VA masuk Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Kelompok rumah tangga ini masuk kategori kemiskinan parah, yang oleh BPS termasuk keluarga berpenghasilan kurang dari 1.9 USD per hari dengan kurs Purchasing Power Parity (PPP).
"Terhadap kelompok rumah tangga seperti ini tentu saja tidak mungkin kebutuhan listriknya kita naikkan dayanya ke 900 VA. Untuk makan saja susah dan kebutuhan listriknya rata rata hanya untuk penerangan dengan voltase rendah," ungkapnya.
Kedua, sebanyak 14,75 juta rumah tangga menggunakan daya listrik 450 VA tetapi tidak terdata dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
Terhadap pelanggan listrik kategori ini, Badan Anggaran DPR meminta PLN, BPS, Kemensos dan Pemda melakukan verifikasi faktual. Verifikasi itu untuk memastikan apakah mereka seharusnya masuk ke DTKS atau tidak.
Jika hasil verifikasi faktual mereka seharusnya masuk DTKS tetapi belum terdata di DTKS, maka mereka harus mendapatkan akses bansos melalui pendataan DTKS, dan voltase listriknya tidak kita alihkan ke 900 VA.
Sebaliknya jika hasil verifikasi faktual menunjukkan bukan dari keluarga kemiskinan parah, yakni berpenghasilan di bawah 1.9 USD per hari, dan sesungguhnya kebutuhan listriknya meningkat dilihat dari grafik konsumsinya, maka kelompok rumah tangga inilah yang kita tingkatkan dayanya ke 900 VA.
Ketiga, sebanyak 8,4 juta pelanggan listrik dengan daya 900 VA terdata didalam DTKS.
Atas kelompok pelanggan ini, maka pemerintah harus kembali melakukan verifikasi faktual. Jika hasil verifikasi faktual menunjukkan sebagian dari mereka sesungguhnya dari rumah tangga mampu, maka mereka kita dorong beralih daya ke 1.300 VA.
Namun jika masih dalam kategori rumah tangga miskin, maka daya listriknya tetap kita masukkan ke kelompok 900 VA.
Kelima, sebanyak 24,4 juta pelanggan listrik dengan daya 900 VA tetapi tidak masuk dalam data DTKS.
Pemerintah harus melakukan verifikasi faktual, apakah sebagian dari mereka sesungguhnya telah jatuh ke rumah tangga miskin atau tidak.
Jika perkembangannya menunjukkan mereka masuk kategori rumah tangga miskin maka mereka harus masuk perlindungan bansos melalui pemutakhiran data DTKS, dan terhadap kelompok ini daya listriknya kita pertahankan tetap 900 VA.
Sebaliknya jika sebagian dari mereka ekonominya kian membaik, dan dari grafik konsumsi listriknya meningkat maka mereka kita dorong masuk ke pelanggan 1.300 VA.
"Sampai saat ini para pelanggan listrik yang berdaya 450 VA dan 900 VA termasuk kategori rumah tangga yang mendapatkan subsidi listrik oleh pemerintah. Hal ini perlu saya tegaskan sebab telah diopinikan pelanggan 900 VA tidak termasuk pelanggan listrik yang disubsidi oleh pemerintah. Opini ini untuk menggiring agar terjadi penolakan pelanggan yang berdaya 450 VA untuk dialihkan ke 900 VA," ucapnya.
Kemensos, BPS, PLN, dan Pemda harus sinergi untuk pembaharuan dan integrasi data. Badan Anggaran DPR mendorong BPS segera melakukan percepatan registrasi sosial.
Langkah bersama ini sangat penting agar akurasi program bansos sebagai kekuatan absorber makin akurat. Melalui data yang akurat maka bisa dirumuskan kebijakan strategis lainnya seperti peralihan energi, agar pilihan pilihan kebijakan teknisnya juga tepat.
Selain itu, upaya peralihan energi tentu tidak hanya pada sektor rumah tangga. Sektor transportasi yang menyerap 46 persen dari total konsumsi energi nasional juga harus bergerak bersama menuju berpenggerak listrik.
Karena itu, dia mengapresiasi langkah nyata Presiden Joko Widodo yang menjadi pelopor penggunaan kendaraan dinas pemerintah berpenggerak listrik.
Sementara itu, sektor industri yang menyerap 31 persen konsumsi energi nasional juga bisa didorong secara perlahan beralih dari BBM ke listrik agar produksi mereka lebih pasti dan resilien, karena tidak terpengaruh pada faktor eksternal berupa kenaikan harga minyak dunia maupun kurs.
Untuk mendukung langkah ini, DPR telah memberikan persetujuan anggaran kepada pemerintah melalui Penanaman Modal Negara (PMN) sebesar Rp. 10 triliun untuk membangun infrastruktur ke sentra produksi baik UMKM maupun industri besar untuk mendorong peningkatan permintaan terhadap listrik.
"Kita harapkan transformasi ini mengubah beban subsidi kita dari oil heavy ke electric heavy. Sehingga subsidi solar yang konsumsinya 95 persen dinikmati rumah tangga mampu setara 1,69 juta kiloliter bisa kita alihkan, termasuk konsumsi pertalite yang dikonsumsi rumah tangga mampu sebanyak 80 persen setara 15,89 juta kilo liter bisa kita relokasi untuk subsidi terhadap listrik agar lebih efisien dan tepat sasaran," tegasnya.
"Bahkan kita subsidi kita akan lebih efisien bila secara perlahan menggeser subsidi LPG yang 68 persen dinikmati rumah tangga mampu. Anggarannya dapat kita alokasikan untuk rumah tangga miskin mengakses energi listrik untuk kebutuhan sehari hari. LPG dapat kita khususnya untuk pedagang keliling, pelaku usaha mikro dan kecil," tutur Said.