Laporan Wartawan Tribunnews, Nur Febriana Trinugraheni
TRIBUNNEWS.COM, NEW YORK - Harga minyak merosot pada akhir perdagangan Selasa (20/9/2022), mengikuti aset berisiko lainnya, karena investor mengantisipasi kenaikan suku bunga Federal Reserve AS (The Fed).
The Fed kemungkinan akan kembali menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin hari ini, Rabu (21/9/2022), untuk meredam inflasi. Ekspektasi tersebut telah membebani ekuitas, yang bergerak seiring dengan fklutuasi harga minyak.
Bank sentral negara lainnya termasuk Bank of England, juga dilaporkan akan mengadakan pertemuan pada pekan ini untuk membahas kebijakan moneter.
Suku bunga yang lebih tinggi telah mendorong penguatan dolar AS, yang mendekati level tertingginya dalam dua dekade terhadap mata uang lainnya pada Selasa kemarin, sehingga membuat harga minyak lebih mahal bagi pemegang mata uang lainnya.
"Pasar minyak terjebak antara kekhawatiran turun dan harapan naik. Kekhawatiran didorong oleh pengetatan moneter yang agresif di AS dan Eropa, yang meningkatkan kemungkinan resesi dan mungkin membebani prospek permintaan minyak," kata analis di perusahaan layanan keuangan UBS, Giovanni Staunovo, yang dikutip dari Reuters.
Harga minyak mentah berjangka Brent turun 1,38 dolar AS atau 1,5 persen, menuju ke level 90,62 dolar AS per barel.
Baca juga: Inflasi Amerika Melonjak, The Fed Diprediksi Bakal Naikkan Suku Bunga Hingga 100 Basis Poin
Sementara harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS untuk pengiriman Oktober turun 1,28 dolar AS, menjadi 84,45 dolar AS per barel.
Baik Brent maupun WTI berada di jalur penurunan kuartalan terburuk sejak pandemi Covid-19. Brent mencapai level 139 dolar AS per barel pada bulan Maret lalu, menjadi rekor tertinggi sejak tahun 2008.
"Dolar adalah kuncinya dan The Fed adalah kuncinya; mereka akan membunuh permintaan untuk inflasi apa pun," kata direktur energi berjangka di Mizuho, Robert Yawger.
Baca juga: Harga Emas Tertekan Penguatan Dolar AS Jelang Pertemuan The Fed Soal Suku Bunga
Pasar minyak juga bereaksi terhadap penurunan konsumsi bahan bakar di Amerika Serikat (AS) dan China.
Jumlah pengemudi mobil di AS pada bulan Juli lebih sedikit dibandingkan bulan sebelumnya, menjadi penurunan bulanan kedua yang dipicu oleh harga bahan bakar yang melonjak.
Harga bahan bakar eceran telah turun dari rekor tertingginya karena permintaan yang lemah.
"Kami akan memasuki musim turnaround di sini, jadi ini bukan musim mengemudi atau musim pemanasan selama enam hingga tujuh minggu ke depan," tambah Yawger.
Sementara permintaan bahan bakar dari China, konsumen energi terbesar kedua di dunia, mengalami penurunan karena adanya pembatasan Covid-19 yang ketat.
Pelonggaran pembatasan Covid-19 di China dapat meningkatkan optimisme akan naiknya permintaan pasokan bahan bakar, kata para analis.
Di sisi pasokan, sebuah dokumen dari Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak dan sekutunya termasuk Rusia, atau dikenal sebagai OPEC+, menunjukkan kelompok tersebut gagal mencapai target produksinya pada bulan Agustus sebesar 3,58 juta barel per hari, atau sekitar 3,5 persen dari permintaan minyak global.