Laporan Wartawan Tribunnews, Nur Febriana Trinugraheni
TRIBUNNEWS.COM, NEW YORK - Harga minyak berjangka turun pada akhir perdagangan Rabu (Kamis pagi WIB), menyusul kekhawatiran mengenai penurunan permintaan pasokan, penguatan dolar AS dan ekspektasi kenaikan suku bunga Federal Reserve AS (The Fed).
Dikutip dari Reuters, harga minyak mentah berjangka Brent turun 1,84 dolar AS atau 2 persen menjadi 92,45 dolar AS per barel.
Sementara harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS berakhir turun 2,08 dolar AS atau 2,3 persen, menjadi 87,27 dolar AS per barel.
Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan Departemen Energi AS telah memangkas prospek pertumbuhan permintaan pasokan minyak mereka.
Baca juga: Rupiah Bergerak Melemah Terhadap Dolar AS, Mendekat ke Level 15.400
Pekan lalu, OPEC dan sekutunya termasuk Rusia, yang dikenal sebagai OPEC+, mengirim harga minyak naik ketika kelompok itu memotong produksi pasokan sebesar 2 juta barel per hari (bph).
Pada Rabu (12/10/2022) kemarin, OPEC memangkas prospek pertumbuhan permintaan minyak tahun ini antara 460.000 barel per hari hingga 2,64 juta barel per hari.
Penurunan ini didasari oleh bangkitnya langkah-langkah pembatasan Covid-19 di China dan inflasi yang tinggi.
"Ekonomi dunia telah memasuki masa ketidakpastian yang meningkat dan tantangan yang meningkat," kata OPEC dalam laporan bulanannya.
Departemen Energi AS (DOE) menurunkan ekspektasi untuk produksi dan permintaan minyak di Amerika Serikat dan global. DOE hanya melihat peningkatan 0,9 persen dalam konsumsi minyak AS di tahun 2023, turun dari perkiraan sebelumnya yaitu 1,7 persen.
Untuk konsumsi minyak global, DOE melihat kenaikan 1,5 persen, lebih rendah dari perkiraan sebelumnya sebesar 2 persen.
"Kami tidak memperdagangkan perlambatan ekonomi - ini ketakutan akan perlambatan di masa depan," kata analis di Price Futures Group, Phil Flynn.
Pasar energi juga berada di bawah tekanan penguatan dolar AS. Komitmen bank sentral AS atau Federal Reserve AS (The Fed) untuk membendung inflasi dengan menaikkan suku bunga membuat mata uang AS lebih menarik bagi investor asing.
Namun, penguatan dolar AS membuat komoditas berdenominasi dolar lebih mahal bagi pemegang mata uang lain dan cenderung membebani minyak dan aset berisiko lainnya.
Baca juga: Dampak Hawkish The Fed, Suku Bunga Utama Bank-bank Besar AS Melonjak ke Level Tertinggi
Presiden The Fed Minneapolis Neel Kashkari mengatakan pada Rabu kemarin, bank sentral AS akan tetap berada pada jalurnya saat ini, yaitu memperketat kebijakan moneter, karena "kami belum melihat banyak bukti bahwa inflasi yang mendasari belum melemah".
Sementara indeks harga produksi (PPI) AS meningkatkan kekhawatiran pada Rabu kemarin, karena harga grosir melonjak dari yang diantisipasi sebelumnya.
Dana Moneter Internasional pada Selasa (11/10/2022) lalu, memangkas perkiraan pertumbuhan global untuk 2023 menjadi 2,7 persen dan memperingatkan peningkatan risiko resesi global.