Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tanda-tanda gelapnya kinerja ekonomi global, perlahan sudah mulai terlihat jelang akhir 2022.
Sinyal tersebut semakin kuat setelah Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) mulai pasang kuda-kuda, dan IMF memangkas proyeksi atau outlook pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2023 menjadi 2,7 persen dari sebelumnya yang diprediksi sebesar 2,9 persen pada Juli lalu.
Padahal sebelumnya, IMF pada Januari 2022 memproyeksikan pertumbuhan ekonomi tahun depan sebesar 3,8 persen.
Ekonom Senior Faisal Basri mengungkapkan, Pemerintah Indonesia harus mencermati dan berpikir keras agar mampu menghindari ancaman tersebut.
Baca juga: BI Beberkan 5 Indikator Ekonomi Global Bakal Hadapi Guncangan Resesi Ekonomi
Berdasarkan catatannya, perekonomian Indonesia memiliki sejumlah kelemahan.
Pertama, pendapatan Indonesia masih sangat bergantung kepada ekspor komoditas mentah seperti mineral mentah ataupun Crude palm oil (CPO).
Jika harga komoditas ekspor mengalami penurunan yang signifikan, maka hal tersebut bakal berdampak terhadap ketahanan ekonomi nasional.
"Kelemahannya, ketergantungan pada ekspor komoditas sangat tinggi. (Padahal ada potensi) harga komoditas berpotensi turun," ucap Faisal dalam Ruang Diskusi Publik bersama ASA Indonesia di Jakarta, Jumat, (21/10/2022).
"Lebih dari 50 persen ekspor kita itu berasal dari komoditas. Kalau harga komoditas anjlok, ya anjlok juga kita rame-rame. Ini sudah terjadi pada CPO," sambungnya.
Kedua, tekanan inflasi di Indonesia yang diprediksi masih berlanjut hingga tahun depan.
Ketiga, adanya tekanan jual investor asing di pasar SBN. Seperti diketahui, aliran modal asing yang keluar dipicu ketidakpastian pasar keuangan global yang meningkat.
Keempat, masih rentannya nilai tukar rupiah yang terus mengalami pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Dan yang kelima atau terakhir yakni boros. Menurut Faisal, pemerintah dinilai terlalu ugal-ugalan dalam mengelola keuangan negara.
Di saat adanya ketidakpastian global, Pemerintah seharusnya lebih memprioritaskan masyarakat yang rentan. Dan menunda proyek-proyek yang kiranya kurang penting.
Contohnya seperti pembangunan Ibu Kota Negara (IKN).
"Ibu kota baru harusnya jangan dibangun dulu, fokus ke rakyat Indonesia. Karena 60 persen lebih rakyat Indonesia pengeluaran per harinya itu di bawah Rp35.000," papar Faisal.
"Jadi 60 persen lebih, hidupnya masih pas-pasan. Jadi lebih baik yang tidak penting ditunda," pungkasnya.