Laporan Wartawan Tribunnews, Mario Christian Sumampow
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aturan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) sebesar 20 persen kembali jadi sorotan.
PT yang diatur dalam Pasal 222 UU 7/2017 tentang pemilu ini disoal bukan dari kalangan yang terjun di dunia politik pun hukum.
Melainkan seorang ekonom, Anthony Budiawan Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS).
Anthony menilai, norma PT yang sudah banyak digugat kelompok masyarakat ke Mahkamah Konstitusi (MK) tapi tak kunjung disebut inkonstitusional ini punya dampak ekonomi.
"Presidential threshold 20 persen, apakah itu baik untuk negara. Saya tidak melihat itu baik kok," ujar Anthony dalam diskusi publik bertajuk 'Indonesia Dalam Belantara Benturan Kepentingan' yang berlangsung di Sekretariat PMII, Jakarta Pusat, Jumat (21/10/2022).
Anthony juga menambahkan, PT tampaknya sengaja dipertahankan oleh pemangku kebijakan, dalam hal ini pembuat undang-undang, supaya mereka memiliki pemimpin yang bisa dikendalikan oleh segelintir orang yang menguasai kekayaan negara.
Baca juga: Eks Kapolres Bukittinggi AKBP Dody akan Jenguk dan Jelaskan soal Kasus Peredaran Narkoba
"Artinya negara ini dikuasai oleh kapital, mereka membuat presiden yang dinginkan hanya oligarki konglomerat. Dampaknya apa? Pemerintahan yang diatur sekarang ini," ujarnya.
Anthony juga membeberkan dampak dari aturan ini. Menurutnya, dampak dapat dilihat dari satu indikator ekonomi yang jelas tampak dari kesejahteraan masyarakat.
"Yaitu jumlah rakyat yang masuk kategori miskin berdasarkan definisi Bank Dunia. Rakyat miskin Indonesia kini 168 juta,(berdasarkan) definisi dari Bank Dunia yaitu dengan pendapatan per kapita per orang per bulan kurang dari 1,1 juta rupiah," paparnya.
Di sisi lain, justru pemerintahan yang dihasilkan dari pemilu yang mensyaratkan PT justru memberikan keleluasaan bagi segelintir orang untuk menguasai sumber daya.
"Berapa banyak orang kaya, super kaya yang mengusai lahan ratusan hingga jutaan hektar, dengan menikmati harga komiditas ekspor batu bara dari 2004 sampai 2019 itu adalah 245 miliar dolar AS atau sekitar Rp 3 ribu triliun," paparnya.
"Berapa keuntungannya, berapa orang yang hanya mengusai itu. Berapa biaya untuk itu, itu belum yang di dalam negeri ya. Maka ini adalah ketimpangan," tambah Anthony.