Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus mengatakan, efek dari krisis pangan yang meningkatkan harga bahan baku, kini sudah dirasakan oleh Malaysia.
Hal ini seiring dengan produksi yang dikurangi di tengah kenaikan harga jagung dan bungkil kedelai yang menjadi bahan baku utama pakan ayam.
"Baru saja, pasokan ayam pedaging kembali stabil setelah Malaysia kembali membuka keran ekspor ayam pedaging secara perlahan. Namun, masalah baru muncul dengan adanya kenaikan harga telur," ujar Nico melalui risetnya, Jumat (28/10/2022).
Baca juga: UPDATE Harga Telur Ayam di Sejumlah Daerah Indonesia, Senin 24 Oktober 2022: Banten Rp 27.000 per Kg
Hal tersebut membuat Malaysia kembali memperpanjang subsidi industri unggas hingga Desember 2022 dalam rangka stabilisasi harga ayam dan telur.
"Pemerintah Malaysia mengalokasikan sebesar RM 1.233 miliar. Pemerintahnya pun telah mengumumkan akan mempertahankan harga pagu telur," katanya.
Namun, peternak unggas telah meminta pemerintah untuk melakukan deregulasi harga telur karena harga jagung internasional yang mengalami kenaikan memang menjadi salah satu pemicunya.
Terlebih, apabila nilai mata uang jatuh, maka bahan baku pakan impor menjadi lebih mahal dan harga produksi akan menjadi lebih tinggi.
Situasai ini pun diperkirakan berlanjut hingga tahun depan, di mana memang industri unggas di Malaysia sudah mulai terjadi sejak awal tahun.
Sejumlah kebijakan dikeluarkan mulai dari perpanjangan subsidi, pembatasan produk ayam olahan seperti nugget dan sosis, serta melarang ekspor dan kembali membuka kebijakan ekspor meskipun masih ada pemberlakuan karkas ayam utuh dan DOC.
Sementara itu, Nico mengungkapkan, hal yang sama juga memang terjadi di Indonesia, di mana harga telur mengalami kenaikan.
Baca juga: Harga Telur Ayam di Indonesia Hari Ini, Senin 24 Oktober 2022: Masih Stabil
Meningkatnya harga bahan baku dan pengurangan produksi memberikan kekhawatiran adanya keterbatasan pasokan telur.
"Hal ini yang juga tengah dialami Indonesia, di mana adanya kenaikan harga telur. Kebutuhan jagung untuk pakan ternak masih membutuhkan impor mengingat defisit antara produksi dan konsumsi di dalam negeri," tutur Nico.
Adapun Food Monitor dari US Department of Agriculture (USD) menunjukan bahwa rata-rata produksi jagung Indonesia pada 2015 hingga 2020 hanya mencapai 11,5 juta ton.
"Padahal, kalau dililhat konsumsi tahunannya melebihi 12 juta ton, sehingga impor menjadi solusi untuk mengatasi defisit tersebut. Produksi jagung yang tidak stabil memang disebabkan karena setengah dari produksi jagung nasional dihasilkan pada musim tanam pertama yang bertepatan dengan musim hujan," pungkasnya.