Laporan Wartawan Tribunnews.com Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON – Melonjaknya laju inflasi di kawasan zona Euro hingga memicu munculnya perlambatan ekonomi, memaksa bank sentral Eropa (ECB) untuk memperketat kebijakan moneternya untuk mengerek naik suku bunga ke level tertinggi sebesar 75 basis poin.
Kenaikan tersebut merupakan kali ketiga yang dilakukan ECB, guna menahan lonjakan laju inflasi yang saat ini telah tembus 9,9 persen selama September 2022.
Angka itu melesat jauh di atas target Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB) sebesar 2 persen. Hal tersebut yang kemudian memperkuat alasan bank sentral untuk terus memperketat kebijakan moneternya, dengan menaikkan suku bunga.
Baca juga: Jepang Siap Umumkan Paket Ekonomi Besar untuk Meredam Inflasi
Lonjakan inflasi terjadi setelah invasi Rusia dan Ukraina makin memanas, kondisi ini lantas membuat rantai pasokan energi dan pangan mengalami gangguan pengiriman hingga memicu munculnya krisis dan berujung pada terjadinya tekanan harga.
Kantor statistik Uni Eropa Eurostat mencatat setidaknya 19 negara di Uni Eropa kini telah mengalami tekanan harga energi yang naik hingga 40,7 persen yoy, diikuti oleh makanan, alkohol, dan tembakau sebesar 11,8 persen yoy.
Tekanan inilah yang membuat ECB nekat menarik suku bunga untuk menghentikan inflasi yang tengah melesat naik di kawasan Eropa.
Tak hanya Eropa belakangan sejumlah bank sentral di negara maju juga mengalami kondisi serupa, dimana mereka telah mengambil langkah hawkish untuk mencegah masuknya ekonomi negara ke dalam jurang resesi.
Baca juga: Ekonom Sebut 5 Industri yang Paling Berisiko Selama Resesi
Mengutip dari Reuters, berikut adalah sederet negara maju yang telah mengerek naik suku bunga acuannya ke level tertinggi.
1. Amerika Serikat
Bank sentral Amerika (The Fed) diketahui telah mengerek suku bunga sebanyak lima kali selama 2022, langkah tersebut diambil selain untuk menurunkan laju inflasi ke kisaran 2 persen, namun juga untuk mendinginkan harga kebutuhan pokok seperti pangan dan energi yang belakangan telah meroket karena pengetatan fiskal.
Tak hanya itu sikap agresif diberlakukan guna mengerek naik pendapatan masyarakat agar dapat seimbang dengan kenaikan harga yang tengah terjadi di pasar AS. Meski sejumlah pihak menilai sikap The Fed dapat memperburuk kondisi ekonomi AS, namun hal tersebut tak lantas membuat niatan bank sentral Amerika ini goyah, terbukti pada September lalu laju inflasi di negara paman Sam turun menjadi 4,6 persen.
Rencananya The Fed akan terus memperketat kebijakan moneternya sebanyak 75 bps pada pekan depan, agar dapat menjauhkan Amerika dari jurang resesi pada akhir tahun nanti.
Baca juga: Ekonomi Jerman di Kuartal III Naik, Alarm Resesi Makin Menjauh
2. Kanada