Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Upaya pemerintah untuk mempromosikan kendaraan listrik, belum cukup efektif untuk mengurangi polusi di Jakarta sebab jumlahnya masih minimalis dibandingkan jumlah kendaraan bermotor yang berbasis bensin.
Oleh karena itu, yang mendesak dilakukan untuk mengurangi polusi di Jakarta adalah migrasi ke angkutan umum dan mengganti atau menggunakan bahan bakar yang berkualitas baik dan ramah lingkungan.
Agar upaya bisa efektif, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi menyarankan dalam upaya pengendalian bahan bakar subsidi harus dilakukan dari sisi operasional dalam arti harus ada insentif dan disinsentif.
Pemberian insentif diwujudkan pemprov DKI harus mendorong sebanyak mungkin penyediaan transportasi publik massal yang dapat digunakan oleh masyarakat.
Baca juga: Pemerintah Tambah Kuota BBM Subsidi, Pengamat: Beri Dampak Positif ke Perekonomian
"Insentif ini akan memunculkan migrasi untuk menggunakan angkutan umum yang makin banyak dan tinggi kapasitasnya, seperti Transjakarta, KRL,MRT dan angkutan umum lainnya," kata Tulus saat diskusi publik Pengendalian BBM Bersubsidi Tepat Sasaran di Wilayah DKI Jakarta melalui aplikasi Zoom belum lama ini.
Selain Tulus, diskusi ini menghadirkan Direktur Pengendalian Pencemaran Udara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Luckmi Purwandari, Direktorat Jenderal Minyak Dan Gas Bumi (Ditjen Migas) Tutuka Ariadji, serta Kepala Dinas Pehubungan (Dishub) DKI Jakarta Syafrin Liputo.
Pemerintah juga harus mengembangkan transportasi umum yang baik, nyaman, murah, sehingga ketika terjadi migrasi dari pengguna kendaraan pribadi ke angkutan umum masal, akan menekan tingkat polusi seperti Jakarta.
Tulus menerangkan, untuk disinsentif, bila masyarakat masih tidak mau menggunakan angkutan umum maka harus menggunakan bahan bakar yang lebih mahal dan lebih berkualitas.
“Karena dia telah mencemari lingkungan dengan bahan bakar yang digunakan kendaraan pribadinya,” tutur dia.
"Bisa juga kendaraan yang tidak lulus uji emisi maka bisa dikenakan tarif parkir progresif dan lebih mahal dan ini sudah mulai diujicobakan di Jakarta. Daerah lain bisa menerapkan hal yang sama," katanya.
Tulus mengatakan, saat ini masyarakat sering salah kaprah, dengan membeli BBM yang lebih murah tapi penghematannya tidak signifikan.
"Sedangkan dampaknya justru bisa lebih besar. Jadi masyarakat sebenarnya merugi, karena harus mengeluarkan biaya maintenance yang lebih tinggi," katanya.
Di sisi lain, saat ini ada fenomena kesadaran di kalangan generasi muda, bahwa BBM bersubsidi akan merusak mesin, mesin jebol sehingga mereka lebih memilih menggunakan bahan bakar minyak yang lebih bagus, seperti pertamax.
Ditambahkan, BBM bersubsidi punya dua dimensi, adil secara ekonomi dan adil secara ekologis dan jika merujuk pada UU tentang energi, maka subsidi energi peruntukannya adalah utk masyarakat tidak mampu.
Jadi jika BBM bersubaidi mayoritas digunakan oleh pemilik kendaraan bermotor, maka ini bentuk ketidakadilan dari sisi ekonomi.
"Dari sisi ekologis, BBM bersubsidi adalah bentuk ketidakadilan ekologis, sebab yang berhak atas subsidi energi adalah energi baru terbarukan, bukan energi fosil seperti BBM, apalagi BBM dengan kadar oktan yang rendah," katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Pengendalian Pencemaran Udara (KLHK), Luckmi Purwandari mengatakan, terjadi penurunan indeks polusi udara setelah terjadinya kenaikan BBM subsidi pada September lalu.
“Setelah kenaikan harga BBM kualitas udara membaik dan nilainya menurun kami sudah menyiapkan datanya, namun belum memiliki berapa persen turunnya,” kata Luckmi Purwandari.
Polusi kendaraan bermotor diperketat dengan produksi kendaraan bermotor diatas tahun 2016 harus memenuhi standar emisi.
Baca juga: Pertamina Tingkatkan Kapasitas Geotermal untuk Capai Pengurangan Emisi Signifikan
Safrin Liputo dari Dinas Perhubungan Pemprof DKI mengatakan, pengendalian penggunaan kendaraan pribadi terus dilakukan secara masif di Jakarta.
Apalagi setelah angkutan publik atau angkutan umum di Jakarta berhasil terintegrasi.
"Sebelum angkutan massal terintegrasi, rata-rata tingkat keterisian Trans Jakarta misalnya masih sekitar 350 ribu perhari tapi usai terintegrasi, ada lompatan tingkat keterisian menjadi 1 juta penumpang.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengatakan, revisi Perpres 191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM masih dalam proses pembahasan lintas kementerian, mulai dari Kementerian ESDM, Kementerian BUMN, hingga Kementerian Keuangan .