TRIBUNNEWS.COM, BALI – Teknologi Selective Catalytic Reduction (SCR) dan penggunaan energi primer green amonia, menjadi salah satu opsi yang kini tengah dikembangkan untuk menurunkan emisi karbon pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Teknologi yang punya potensi untuk digunakan pada sejumlah PLTU ini, merupakan bagian dari upaya untuk dekarbonisasi yang ditimbulkan dari pembakaran batu bara.
Dengan alasan inilah PT Prima Layanan Nasional Enjiniring dengan PT Indo Raya Tenaga (IRT) sepakat untuk menjalin MOU “Join Study co-firing of 60 persen Green Amonia at SCR-equipped USC Power Plant of Jawa 9&10”.
Penandatanganan kesepakatan ini di lakukan di sela-sela rangkaian B20 di Nusa Dua Bali, Senin (14/11/2022).
Baca juga: Indonesia dan ADB Luncurkan Kesepakatan Suntik Mati PLTU Batubara di Tanah Air
Hartarto Wibowo, Direktur Coorporate Planing & Business Development PLN menuturkan, kerjasama antara PLN Enjiniring, anak usaha PLN dengan IRT sebagai pengambang PLTU Jawa 9&10 ini ditujukan untuk kemungkinan penggunakan energi primer green amonia sebagai bahan bakar PLTU sebanyak 60 persen karena Jawa 9&10 sudah dilengkapi teknologi SCR.
“Kami harap studinya menghasilkan sesuau yang luar biasa. Dan ini akan menjadi cara kita agar coal power plant pun akan lebih ramah lingkungan,” kata Hartarto Wibowo dalam keterangan yang diterima, Senin.
Menurutnya, feasibility study yang dijalankan bisa rampung dalam waktu tiga bulan ke depan.
Setelah itu hasilnya bisa dipresentasikan ke Drektorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian Energi dan Sumber Daya (ESDM).
“Ini semua untuk hidup yang lebih renewable,” serunya.
Di kesempatan yang sama, Direktur Jenderal EBTKE Dadan Kusdiana mengatakan, sejauh ini sudah ada upaya keras baik dari pemerintah maupun PLN dalam melakukan dekarbonisasi untuk PLTU.
Apa yang dilakukan pengelola PLTU Jawa 9&10 dengan teknologi SCR yang menggunakan 'green ammonia' menjadi satu opsi yang dikaji serius. Dia berharap kajian ini juga tidak lama dilakukan.
“Tak ada yang salah dengan batubara, karena sebagai produk ia bermanfaat. Hal yang kita hindari adalah batubara itu kan ujungnya ada C02. Karena itu kita harus cari cara bagaimana agar emisinya bisa berkurang atau terserap,” ujarnya.
Jalan yang paling praktis mungkin bisa dilakukan dengan mengganti PLTU batubara.
"Tapi kan ada aset dan segala nilai keekonomian. Makanya kita berfikir jalan dekarbonisasi. Kalau (MoU) ini mengarah ke hidrogen dan amona, saya pikir ini jalan yang smart,” tuturnya.