Laporan Wartawan Tribunnews, Nur Febriana Trinugraheni
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Perusahaan keuangan S&P Global dan Morgan Stanley memperkirakan India akan menyalip Jepang dan Jerman menjadi ekonomi terbesar ketiga di dunia pada 2030.
Perkiraan S&P didasarkan pada proyeksi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) tahunan India yang akan mencapai rata-rata 6,3 persen hingga tahun 2030.
Demikian pula dengan Morgan Stanley yang memperkirakan PDB India kemungkinan akan meningkat lebih dari dua kali lipat dari level saat ini pada 2031.
“India memiliki kondisi untuk ledakan ekonomi yang didorong oleh offshoring, investasi di bidang manufaktur, transisi energi, dan infrastruktur digital negara yang maju,” tulis analis Morgan Stanley yang dipimpin oleh Ridham Desai dan Girish Acchipalia dalam laporan tersebut.
“Penggerak ini akan menjadikan [India] ekonomi dan pasar saham terbesar ketiga di dunia sebelum akhir dekade ini,” tambah para analis, yang dikutip dari CNBC.
India mencatat pertumbuhan tahunan sebesar 6,3 persen untuk kuartal ketiga tahun ini, sedikit lebih tinggi dari perkiraan jajak pendapat Reuters sebesar 6,2 persen.
Sebelumnya, India membukukan ekspansi sebesar 13,5 persen untuk periode April hingga Juni dibandingkan dengan periode yang sama di tahun lalu, didukung oleh permintaan domestik yang kuat di sektor jasa.
Baca juga: Tata Group akan Sulap Air India Jadi Maskapai Penerbangan Kelas Dunia
India membukukan rekor pertumbuhan 20,1 persen secara year-on-year (yoy) pada kuartal kedua tahun lalu, menurut data Refinitiv.
Proyeksi S&P bergantung pada kelanjutan liberalisasi perdagangan dan keuangan India, reformasi pasar tenaga kerja, serta investasi dalam infrastruktur dan sumber daya manusia India.
Baca juga: Tutup KTT G20 Bali, Presiden Jokowi Serahkan Palu Kepemimpinan Kepada PM India Narendra Modi
“Ini adalah harapan yang masuk akal dari India, yang memiliki banyak hal untuk ‘mengejar’ dalam hal pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita,” kata seorang ekonom dari Kelompok Riset Perbankan Australia dan Selandia Baru (ANZ), Dhiraj Nim.
Beberapa reformasi yang disebutkan telah dijalankan, kata Nim, menyoroti komitmen pemerintah untuk menyisihkan lebih banyak belanja modal dalam anggaran belanja tahunan negara.
Gencar Pacu Ekspor dan Manufaktur
Menurut analis S&P, terdapat fokus yang jelas dari pemerintah India untuk menjadi penghubung bagi investor asing serta perusahaan yang membutuhkan tenaga manufaktur, dengan menjalankan Skema Insentif Terkait Produksi (PLIS) untuk meningkatkan manufaktur dan ekspor.
PLIS, yang diperkenalkan pada 2020, menawarkan insentif kepada investor domestik dan asing dalam bentuk potongan pajak, pemberian izin, serta stimulus lainnya.
“Sangat mungkin pemerintah mengandalkan PLIS sebagai alat untuk membuat ekonomi India lebih didorong oleh ekspor dan lebih saling terkait dalam rantai pasokan global,” tulis analis di S&P.
Baca juga: Kepemimpinan G20 Beralih ke India, Ini Arti Logo dan Tema yang Disiapkan PM Narendra Modi
Dengan cara yang sama, Morgan Stanley memperkirakan pangsa manufaktur India terhadap PDB akan naik dari 15,6 persen dari PDB saat ini menjadi 21 persen pada 2031, yang menyiratkan "bahwa pendapatan manufaktur dapat meningkat tiga kali lipat dari saat ini 447 miliar dolar AS menjadi sekitar 1.490 miliar dolar AS".
“Perusahaan multinasional lebih optimis dari sebelumnya untuk berinvestasi di India ... dan pemerintah mendorong investasi dengan membangun infrastruktur dan menyediakan lahan untuk pabrik,” kata perusahaan keuangan Morgan Stanley.
Analis senior dari Economist Intelligence Unit, Sumedha Dasgupta, mengatakan keuntungan India didapat karena adanya "tenaga kerja berbiaya rendah yang melimpah, biaya manufaktur yang rendah, keterbukaan terhadap investasi, kebijakan yang ramah bisnis, dan demografis muda dengan kecenderungan konsumsi yang kuat".
Faktor-faktor ini menjadikan India pilihan yang menarik untuk mendirikan pusat manufaktur hingga akhir dekade ini, tambahnya.
Faktor Risiko
Poin penting yang dapat meruntuhkan perkiraan Morgan Stanley salah satunya adalah resesi global yang berkepanjangan, karena India adalah negara yang sangat bergantung pada perdagangan dengan hampir 20 persen outputnya dikirim ke luar negeri.
Faktor risiko lain termasuk pasokan tenaga kerja yang terampil, peristiwa geopolitik yang merugikan, dan kesalahan kebijakan yang mungkin timbul dari "pemungutan suara di pemerintahan yang lebih lemah”.
Perlambatan global dapat mengurangi prospek bisnis ekspor India, kata Kementerian Keuangan India pada pekan lalu.
Meskipun PDB India sudah berada di atas level sebelum pandemi Covid-19, namun pertumbuhan ke depan akan “jauh lebih lemah” dibandingkan kuartal sebelumnya, kata kepala ekonom di perusahaan keuangan Nomura, Sonal Varma.
“PDB riil sekarang 8 persen di atas tingkat sebelum Covid dalam hal tingkat pertumbuhan ... tetapi dalam pandangan ke depan, ada hambatan dari kondisi keuangan sisi global,” kata Varma, yang memperingatkan akan ada perlambatan siklus.
Sementara Dhiraj Nim mengatakan, investasi sumber daya manusia dapat lebih diprioritaskan melalui pendidikan dan kesehatan.
“Ini sangat penting untuk ekonomi pasca-pandemi di mana gangguan yang lebih besar pada sektor informal berarti melebarnya kesenjangan ekonomi dan kekayaan,” katanya, seraya menambahkan penurunan tingkat partisipasi angkatan kerja, terutama di kalangan perempuan, yang memprihatinkan.