TRIBUNNEWS.COM – Kebijakan pelarangan ekspor bahan tambang yaitu bijih nikel membuat negara-negara pengimpor terutama dari Uni Eropa meradang.
Uni Eropa pun membawa kebijakan Presiden Joko Widodo tersebut ke sidang Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) karena merasa bisnis mereka makin terancam.
Uni Eropa bereaksi keras terhadap kebijakan yang diberlakukan sejak 2020 karena terancam bisnis industri berbasis olahan nikelnya berpotensi terganggu.
Nikel merupakan bahan baku yang sangat dibutuhkan karena kegunaan untuk pembuatan bahan kimia khusus, seperti katalis untuk hidrogenasi (untuk ini digunakan nikel Raney), katoda untuk baterai, pigmen, dan perawatan permukaan logam.
Baca juga: Indonesia Siap Banding Soal Gugatan Ekspor Nikel di WTO, Moeldoko: Harus Diperjuangkan
Nikel juga dibutuhkan untuk chip semikonduktor yang saat ini dunia sedang langka.
Negara-negara tersebut akan semakin dirugikan, apabila Indonesia berhasil mengembangkan industri hilir olahan nikel dalam negeri.
Namun keinginan Indonesia untuk mampu melakukan hilirisasi tersebut mendapat halangan, ketika WTO memenangkan tuntutan Uni Eropa beberapa bulan lalu.
Meski kalah dalam sidang gugatan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Pemerintah RI tak gentar untuk melanjutkan program hilirisasi nikel.
Proyek ini dilakukan agar Indonesia bisa mendapatkan nilai tambah yang harganya jauh lebih tinggi dibandingkan mengekspor bahan mentah.
Jokowi ngotot untuk meneruskan tekad tersebut dan terus melanjutkan pembangunan smelter-smelter di sejumlah daerah.
Presiden meminta agar penghentian ekspor dalam bentuk bahan mentah tidak hanya berhenti pada komoditas nikel saja.
“Enggak bisa lagi kita mengekspor dalam bentuk bahan mentah, mengekspor dalam bentuk raw material, enggak.
Baca juga: PP Presisi Kembali Kantongi Kontrak Baru Jasa Pertambangan Nikel Senilai Rp1,8 Triliun
Begitu kita dapatkan investasinya, ada yang bangun, bekerja sama dengan luar dengan dalam atau pusat dengan daerah, Jakarta dengan daerah, nilai tambah itu akan kita peroleh,” ujar Presiden dalam sambutannya saat membuka Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Investasi Tahun 2022 di The Ritz-Carlton, Jakarta, pada Rabu (30/11/2022).
Jokowi mencontohkan, beberapa tahun lalu Indonesia masih mengekspor nikel dalam bentuk bahan mentah yang nilainya hanya mencapai 1,1 miliar dolar AS.
Setelah pemerintah memiliki smelter dan menghentikan ekspor dalam bentuk bahan mentah, pada tahun 2021 ekspor nikel melompat 18 kali lipat menjadi 20,8 miliar dolar AS atau Rp300 triliun lebih.
Menanggapi kekalahan di WTO, Presiden Jokowi mengingatkan jajarannya agar melakukan banding dan terus melakukan hilirisasi untuk bahan-bahan tambang lainnya seperti bauksit.
“Enggak apa-apa kalah, saya sampaikan ke menteri, banding. Nanti babak yang kedua hilirisasi lagi bauksit.
Artinya bahan mentah bauksit harus diolah di dalam negeri agar kita mendapatkan nilai tambah.
Setelah itu bahan-bahan yang lainnya, termasuk hal-hal yang kecil-kecil, urusan kopi, usahakan jangan sampai diekspor dalam bentuk bahan mentah.
Sudah beratus tahun kita mengekspor itu. Stop, cari investor, investasi agar masuk ke sana sehingga nilai tambahnya ada,” tegasnya.
Ditegaskan, nilai tambah nikel meningkat hingga 15 kali lipat.
“Seperti kasus nikel ini, dari Rp 20 triliun melompat ke lebih dari Rp 300 triliun sehingga neraca perdagangan kita sudah 29 bulan selalu surplus yang sebelumnya selalu negatif, selalu defisit neraca berpuluh-puluh tahun. Baru 29 bulan yang lalu kita selalu surplus. Ini yang kita arah,” lanjutnya.
Sejak 2021 volume dan nilai ekspor nikel Indonesia memang terus meningkat, terlebih dalam 9 bulan pertama 2022.
Baca juga: Usai Nikel, Jokowi Akan Larang Ekspor Komoditas Bahan Mentah Lainnya
Volume ekspor nikel melonjak 458,39 persen sepanjang Januari-September 2022 dibanding tahun sebelumnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), total ekspor nikel nasional mencapai 534,05 ribu ton.
Nilainya pun luar biasa, yaitu sebesar 4,12 miliar dolar AS atau setara Rp62,83 triliun (kurs Rp15.232 per dolar Amerika Serikat saat itu).
Nilai ini melonjak lebih dari 5 kali lipat dibanding Januari-September 2021, serta lebih tinggi 3,24 kali lipat dibanding nilai ekspor sepanjang tahun lalu.
Saat ini di Indonesia telah ada sebanyak 19 pabrik peleburan (smelter) timah dan targetnya pada 2023 mendatang telah ada 53 pabrik yang beroperasi.
Bisa dibayangkan dengan bertambahnya smelter nikel, maka akan lebih banyak lagi bijih nikel yang bisa diolah di dalam negeri.
Karenanya Presiden menegaskan bahwa gugatan tersebut merupakan hak negara lain yang merasa terganggu dengan kebijakan pemerintah Indonesia.
Baca juga: Hillcon Garap Proyek Pelabuhan Nikel di Morowali Senilai Rp 1,9 Triliun
Bagi Uni Eropa misalnya, jika nikel diolah di Indonesia, maka industri di sana akan banyak yang tutup dan pengangguran akan meningkat.
Namun, Kepala Negara menegaskan bahwa Indonesia juga memiliki hak untuk menjadi negara maju.
“Negara kita ingin menjadi negara maju, kita ingin membuka lapangan kerja. Kalau kita digugat saja takut, mundur, enggak jadi, ya enggak akan kita menjadi negara maju. Saya sampaikan kepada menteri ‘Terus, tidak boleh berhenti’. Tidak hanya berhenti di nikel tetapi terus yang lain,” pungkasnya.
Tekat Jokowi ini tetap bulat bahkan akan menyiapkan juru lainnya yaitu memberikan pajak hingga sepuluh kali lipat jika harus melakukan ekspor bijih nikel.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli mengungkapkan, apapun keputusan WTO, Indonesia tetap akan mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki untuk kemajuan industri dalam negeri.
Menurutnya, jika nantinya Indonesia kalah atau harus kembali membuka keran ekspor nikel, masih banyak hal yang dapat dilakukan agar hilirisasi terus berjalan.
Indonesia tidak akan dengan mudah mengekspor bijih nikel yang saat ini menjadi incaran berbagai negara.
Selain meningkatkan tarif ekspor, pemerintah juga dapat mengatur jumlah produksi melalui Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) pemegang izin pertambangan.
Pembatasan produksi dapat dilakukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral guna menjaga umur cadangan nikel dalam negeri.
Selain itu, seperti yang telah dilakukan di batubara, pemerintah juga bisa menerapkan kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) bagi para pemegang izin produksi pertambangan nikel.
Baca juga: Tiru OPEC, Indonesia Usulkan Pendirian Organisasi Negara-Negara Penghasil Nikel
Menurut Rizal, ini wajib dilakukan guna memastikan kebutuhan negeri dapat terpenuhi. Hilirisasi nikel yang telah berjalan harus mendapatkan jaminan bahwa pabriknya tidak akan kekurangan pasokan.
“Berbagai kebijakan ini nantinya akan bermuara pada ekspor menjadi tidak menarik, dan industri yang telah tumbuh dipastikan akan terus tumbuh," papar Rizal.
"Di sisi lain, secara ekonomis, industri yang dekat dengan bahan baku akan lebih menguntungkan,” pungkasnya.
Usulkan Pembentukan Organisasi Pengekspor Nikel
Sebelumnya, Menteri Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia baru-baru ini mengusulkan pendirian organisasi negara-negara penghasil nikel seperti The Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC).
Usulan ini muncul bukan tanpa alasan, Indonesia sebagai salah satu negara produsen nikel terbesar diyakini bakal memperoleh keuntungan lebih dari pembentukan organisasi ini. Terlebih, Indonesia saat ini tengah berfokus mengembangkan ekosistem kendaraan listrik.
Senada, Pengamat Hukum Energi dan Pertambangan Universitas Tarumanegara Ahmad Redi menilai pembentukan organisasi ini sangat dimungkinkan. Indonesia bakal memperoleh sejumlah keuntungan dari pembentukan organisasi ini.
"Ini penting karena memang selama ini kebijakan terhadap produksi nikel tidak selaras," kata Redi.
Pembentukan organisasi internasional ini bakal memastikan adanya kendali atas harga nikel dunia oleh para negara anggota. Meski demikian, pembentukan organisasi internasional bukan tanpa halangan.
Baca juga: Jokowi Ngotot Hilirisasi Bijih Nikel Dilanjutkan, Nilai Tambahnya 15 Kali Lipat
Redi meyakini bakal ada penolakan dari para negara yang selama ini telah memperoleh keuntungan dari kebijakan yang berlaku saat ini. Untuk itu, dibutuhkan dukungan dari negara-negara produsen lainnya agar rencana pembentukan organisasi internasional ini bisa terwujud.
"Ini membuat kebijakan transisi energi khususnya peran nikel dalam baterai kendaraan listrik bisa terarah karena ini menjadi kepentingan global," tegas Redi.
Upaya Uni Eropa untuk membujuk Indonesia agar kembali membuka keran ekspor bijih nikel terus dilakukan di berbagai pertemuan.
Salah satunya adalah di di KTT Peringatan 45 tahun Kemitraan ASEAN dan Uni Eropa di Belgia pertengahan Desember.
Namun Presiden Jokowi yang saat ini juga menjabat sebagai Ketua ASEAN tetap ‘keukeuh’, bahkan Jokowi ingin dapat membangun kemitraan yang setara, saling menghormati dan saling menguntungkan.
Selama ini Indonesia sebagai negara asal hanya bisa mengekspor bijih nikel yang harganya masih sangat murah dibandingkan harga setelah diolah menjadi bahan setengah jadi.
Retno menyebut bahwa Presiden RI juga menekankan agar tidak boleh ada pemaksaan kehendak dan tidak ada pihak yang mendikte.
"Presiden juga menegaskan bahwa mindset 'my standard is better than yours' harus diganti," kata Retno pada konferensi pers virtual, Kamis (15/12/2022).
Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi sempat menyinggung adanya negara-negara yang tidak ingin negara berkembang menjadi negara maju.
Di KTT ASEAN - Uni Eropa, Presiden RI menyampaikan harapan kepada Uni Eropa dapat terus mendukung hak negara berkembang untuk tumbuh dan maju.
Retno mengatakan bahwa di KTT, Presiden Jokowi menyampaikan keprihatinan atas proposal regulasi deforestasi Uni Eropa yang menghambat perdagangan.
Presiden juga menjelaskan bahwa Indonesia akan terus membangun hilirisasi industri untuk mendorong pembangunan yang lebih inklusif.
"Kemitraan ASEAN-EU harus berkontribusi pada pemulihan ekonomi yang inklusif. Dan perdagangan dan investasi harus dipermudah," ujar Retno.
Usai melarang ekspor bijih nikel, Juni 2023 mendatang Indonesia pun akan menghentikan ekspor bijih bauksit yang akan semakin membuat negara-negara Uni Eropa semakin menderita. (Hendra Gunawan/dari berbagai sumber)