Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Fundamental ekonomi Indonesia dinilai tidak cukup kuat dalam menghadapi kondisi perekonomian global yang diliputi ketidakpastian di 2023.
Ekonom Bright Institute Awalil Rizky mengatakan, gejolak perekonomian global beserta faktor ketidakpastian yang tinggi ini tidak menguntungkan perekonomian Indonesia.
Apalagi sudah terbukti adanya resesi ekonomi di beberapa negara, tidak stabilnya harga dan pasokan energi, harga dan pasokan pangan, serta inflasi dan suku bunga tinggi.
Baca juga: Ekonom Bright Institute: Suku Bunga Tinggi Risiko Ekonomi Paling Seram di 2023
"Pada saat kondisi eksternal tidak menguntungkan dan semakin tidak menguntungkan tahun depan, fundamental ekonomi kita justru kurang kuat," ujarnya dalam acara "Insight Economic 2023: Ancaman Krisis Ekonomi" Selasa (27/12/2022).
Meski pemerintah dan Bank Indonesia mengklaim fundamental ekonomi Indonesia kuat, tapi menurutnya untuk menilai itu tidak hanya dari pertumbuhan.
"Fundamental ekonomi itu tidak hanya dilihat dari pertumbuhan ekonominya, inflasi yang rendah, angka pengangguran yang menurun, dan lainnya," katanya.
Dia menjelaskan, fundamental ekonomi adalah hal-hal mendasar dalam suatu perekonomian yang memberi gambaran jawaban atas apa, bagaimana, dan untuk apa barang dan jasa diproduksi dalam kurun waktu cukup panjang.
"Ini berbeda dengan definisi otoritas bahwa fundamental ekonomi itu makro ekonomi, bahkan ada yang menyebut pertumbuhan ekonomi, inflasi, pengangguran, transaksi berjalan, itu saja. Padahal pengertiannya harus dilihat secara keseluruhan dan datanya tidak bisa data 1 tahun sampai 2 tahun, tapi 5 tahun ke atas, sehingga kita bisa melihat apakah fundamental suatu negara ini kuat apa tidak," tutur Awalil.
Dengan demikian, fundamental ekonomi tidak bisa hanya dilihat dari makro ekonomi saja, melainkan dari faktor-faktor lain termasuk kemungkinan terjadi bencana alam gempa atau tsunami.
Baca juga: Ekonomi Asia Diuntungkan Saat Kebijakan Moneter AS Stabil, Indonesia Juga?
"Pasti ada yang bilang beberapa indikatornya beda dengan dulu, yang saya sampaikan bukan antar indikator, kalau dianalisis jeroannya sama. Kita tidak kuat fundamental ekonominya, bisa jadi ada gempa dan tsunami," ujarnya.
Masalah PHK
Sementara itu, Ekonom senior Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Hendri Saparini mengatakan, secara makro belum ada indikator Indonesia masuk ke jurang resesi.
"Apakah tahun 2023 akan mengalami krisis? Rasanya belum. Tetapi, yang jadi masalah besar adalah di belakang tadi karena banyak PHK untuk sektor-sektor yang sedang tidak kompetitif," ujarnya.
Hendri mengungkapkan, satu di antara sektor sedang dilanda badai PHK adalah tekstil, yang justru tidak mendapat perhatian dari pemerintah.
Baca juga: Ekonomi Era Jokowi Disebut Lebih Baik Ketimbang SBY, Demokrat: Orang Lapar Sekarang Itu Nyata!
"Misalnya tekstil, kita tidak mengerti tekstil ini sebenarnya mau dijadikan prioritas atau tidak. Padahal penduduk Indonesia ada 275 juta," katanya.
Dia menambahkan, tidak ada strategi pemerintah untuk membantu pelaku usaha yang terevitalisasi mesin-mesinnya, sehingga digulung oleh tekstil impor.
"Tetapi, kalau kemudian lihat di sektor investasi dan manufaktur, dari industri tambang misalnya, hilirisasi banyak banget. Tertutup dari sisi makro, tapi sektornya (tekstil) tidak," ujarnya.