TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah melalui Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan melarang penjualan rokok batangan.
Larangan tersebut bakal dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah(PP) yang bakal disusun pada tahun 2023 mendatang.
Imbasnya masyarakat hanya diperbolehkan membeli rokok per bungkus. Dalam salinan
Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2022 yang dilihat di situs resmi Sekretariat Kabinet diketahui aturan tersebut nantinya bakal dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan(Kemenkes).
"Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan," bunyi Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2022 dikutip dari situs resmi Sekretariat Kabinet, Selasa(27/12).
Baca juga: Jual Rokok Ketengan Dilarang, Omzet Pedagang Kecil Bisa Anjlok 30 Persen
Keppres tersebut diteken Presiden Jokowi pada 23 Desember 2022. Tidak hanya larangan mengenai penjualan rokok batangan, rokok elektronik juga bakal dilarang dalam aturan terbaru tersebut.
Aturan ini menimbulkan Pro-Kontra di masyarakat terutama konsumen, alias para perokok aktif.
Toni (42) seorang warga yang tinggal di daerah Ciputat, Tangerang Selatan ini
mengeluhkan adanya wacana penerapan aturan tersebut.
Menurutnya, larangan pembelian rokok batangan akan semakin menguras pengeluaran harian. Padahal, ia hanyalah pekerja informal atau buruh harian yang gajinya tak menentu.
Terlebih, dirinya juga perlu memenuhi kebutuhan keluarga. Asal tahu saja, rata-rata
pendapatan Toni hanya berkisar antara Rp100.000 hingga Rp150.000 per hari.
"Saya ini perokok aktif, nanti kalau enggak boleh beli ketengan berarti saya harus beli
sebungkus (harganya pasti jadi mahal, pengeluaran jadi bertambah). Padahal gaji saya
cuma harian, kecil," ucapnya.
"Aturan (larangan pembelian rokok batangan) enggak usah ada dulu lah kalau sekarang
ini," sambungnya.
Keluhan yang sama juga diutarakan oleh salah seorang perokok aktif, Edho (29). Menurutnya larangan pembelian rokok batangan bakal menyiksa para perokok aktif yang kondisi keuangannya kurang mumpuni.
Terlebih lagi, Pemerintah resmi menaikkan cukai rokok tembakau dan rokok elektrik (vape) selama dua tahun ke depan, mulai Januari 2023 hingga 2024.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan besaran kenaikan cukai rokok sebesar 10 persen dan vape 15 persen.
Baca juga: Soal Larangan Penjualan Rokok Ketengan, Komunitas Kretek Sebut Sebagai Pembohongan Publik
Kenaikan cukai rokok tersebut akan berimbas kepada harga eceran rokok mulai Januari
2023.
"Menyiksa untuk orang yang kurang punya uang banyak. Apalagi harga rokok per bungkusnya dinaikin lagi. Makin mahal," seru Edho.
Tak hanya pendapat kontra, Aziz (30) justru malah mendukung adanya aturan larangan pembelian rokok batangan.
Bukan tanpa alasan, menurutnya kebijakan tersebut bakal menekan jumlah perokok usia muda di bawah 17 tahun.
Menurut Aziz, pembelian rokok batangan secara bebas justru semakin meningkatkan minat anak-anak untuk merokok.
"Kalau saya setuju dengan adanya aturan tersebut. Biar bocah kecil enggak pada ngerokok. Kalau beli per batang kan mereka (anak-anak) jadi mampu beli," papar Aziz.
"Nah nanti kan kalau beli per bungkus, anak-anak jadi susah beli, soalnya mahal,"
pungkasnya.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menanggapi rencana larangan penjualan rokok eceran. Menurutnya, kebijakan itu patut diapresiasi mengingat hal tersebut dinilai mampu mengendalikan prevelensi merokok khususnya bagi kalangan remaja dan rumah tangga miskin.
"Larangan penjualan rokok secara ketengan, ini kebijakan yang patut diapresiasi, karena merupakan salah satu cara pengendalian yang efektif untuk menurunkan prevalensi merokok di Indonesia khususnya di kalangan rumah tangga miskin, anak anak dan remaja," kata Tulus.
Baca juga: Mulai 1 Januari 2023, Pedagang Dilarang Menjual Rokok Per Batang
Dikatakan Tulus, larangan penjualan ketengan juga efektif untuk efektivitas kenaikan cukai rokok. Sebab kata dia, saat ini kenaikan cukai dinilai tidak efektif untuk menurunkan prevalensi dan konsumsi rokok.
“Karena rokok masih dijual secara ketengan, diobral seperti permen, sehingga harganya terjangkau,” tegasnya.
Tulus mengatakan, larangan penjualan rokok secara ketengan juga sejalan dengan spirit yang diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai.
“Dalam UU Cukai disebutkan bahwa barang yang menimbulkan kecanduan dan berdampak negative terhadap penggunanya dan lingkungan, maka distribusinya dibatasi,” ucapnya.
Meski demikian, Tulus menegaskan, pemerintah perlu memastikan kebijakan itu dilakukan dengan bijak agar tidak hanya menjadi sebuah larangan semata.
“Yang harus diawasi adalah praktik di lapangan seperti apa, dan apa sanksinya bagi yang melanggar. Jangan sampai larangan penjualan ketengan ini menjadi macan ompong,” tuturnya.
Demi Kesehatan Presiden Joko Widodo(Jokowi) saat jumpa pers di Subang, Jawa Barat mengatakan larangan penjualan rokok secara batangan bertujuan untuk menjaga kesehatan masyarakat.
“Ya itu kan untuk menjaga kesehatan masyarakat kita semuanya,” kata Jokowi.
Baca juga: Pengusaha Awasi Penjualan Rokok ke Anak-anak, Bakal Gandeng Bea Cukai
Jokowi mengatakan, negara-negara lain pun bahkan sudah menerapkan larangan penjualan rokok secara keseluruhan.
Namun demikian, untuk Indonesia, pelarangan baru berlaku untuk penjualan rokok secara batangan.
“Di beberapa negara justru sudah dilarang tidak boleh, kita kan masih tapi untuk yang batangan tidak (boleh dijual,” ujar Jokowi.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi mengatakan larangan penjualan rokok ketengan untuk menekan tingkat
perokok remaja yang terus meningkat.
“Semua ini (untuk) menurunkan upaya merokok pada usia 10-18 tahun yang terus meningkat,” kata Nadia.
Kata Nadia prevalensi merokok pada remaja usia 10-18 tahun terus meningkat.
Saat ini, terjadi peningkatan sebesar 9 persen dan diperkirakan akan kembali meningkat sebesar 15 persen pada tahun 2024. Remaja usia 10-18 tahun ini banyak membeli rokok ketengan.
Berdasarkan penjelasan Nadia, sebanyak 71 persen remaja membeli rokok ketengan. Saat membeli pun, mayoritas tidak ada larangan untuk membeli rokok ketengan.
“78 persen terdapat penjualan rokok di sekitar sekolah dan mencantumkan harga (jual)
Ketengan,” ujar Nadia.
Nadia menyebut, upaya pengendalian zat tembakau melibatkan
lintas sektor.
Nantinya, revisi PP akan meliputi pelarangan penjualan rokok batangan; pelarangan iklan, promosi, sponsorship produk tembakau di media teknologi informasi; dan penegakan penindakan.
Kemudian, pengawasan iklan, promosi, sponsorship produk tembakau di media penyiaran, media dalam dan luar ruang, dan media teknologi informasi; ketentuan mengenai rokok elektrik; dan penambahan luas persentase gambar dan tulisan peringatan kesehatan pada kemasan produk tembakau.
“Juga termasuk kebijakan fiskal terkait kenaikan cukai rokok,” jelas Nadia.
Saat ini kata Nadia, persentase gambar dan tulisan peringatan kesehatan pada kemasan produk rokok mencapai 40 persen. Sedangkan di luar negeri, luas peringatan mencapai 80 persen.
“Di negara lain 80 persen. Harapan kita (iklan rokok tidak ditampilkan di TV), seperti itu,” kata Nadia.
Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wahyudi menolak rencana pelarangan penjualan rokok ketengan.
Kata Benny, jika Keppres Nomor 25/2022 ditujukan untuk mencegah perokok anak di bawah umur pelarangan penjualan rokok batangan tidak perlu dilakukan.
“Rasanya tidak akan efektif karena beberapa anak dapat bergabung untuk membeli sebungkus rokok,” jelasnya.
Selain itu, larangan penjualan rokok tersebut juga terkesan memaksa orang dewasa. Sebab, banyak dari masyarakat yang membeli rokok hanya per batang.
“Ini justru akan “memaksa” orang dewasa yang hanya merokok sehabis makan atau mau ke kamar mandi untuk membeli sebungkus rokok. Padahal mereka biasanya hanya
menghabiskan 2-3 batang saja per hari,” ujarnya. (Tribun Network/fik/ism/kps/wly)