Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia) menyebut bahwa masih banyak tuntutan buruh yang belum diakomodir dari adanya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Presiden Aspek Indonesia Mirah Sumirat membeberkan sedikitnya 7 poin tuntutan buruh yang belum terakomodir di Perppu Cipta kerja. '
Berikut rinciannya:
Pertama, sistem kerja outsourcing tetap dimungkinkan diperluas tanpa pembatasan jenis pekerjaan yang jelas.
Kedua, sistem kerja kontrak tetap dimungkinkan dapat dilakukan seumur hidup, tanpa kepastian status menjadi pekerja tetap.
Ketiga, sistem upah yang tetap murah, karena tidak secara tegas menetapkan upah minimum harus berdasarkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan kebutuhan hidup layak.
Keempat, masih hilangnya ketentuan upah minimum sektoral provinsi dan kota/kabupaten.
Kelima, tetap dimudahkannya pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak oleh perusahaan. Termasuk hilangnya ketentuan PHK harus melalui Penetapan Pengadilan.
Keenam, berkurangnya kompensasi pemutusan hubungan kerja (PHK) pesangon dan penghargaan masa kerja.
Ketujuh, kemudahan masuknya tenaga kerja asing (TKA), bahkan untuk semua jenis pekerjaan yang sesungguhnya bisa dikerjakan oleh pekerja Indonesia.
Baca juga: Perppu Cipta Kerja Larang 10 Hal Ini Jadi Alasan Perusahaan PHK Pekerjanya
Presiden Aspek Indonesia, Mirah Sumirat juga mengatakan, terbitnya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 ini karena Pemerintah dan DPR gagal memenuhi Putusan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan perbaikan dalam dua tahun, kemudian justru memaksakan pemberlakuan Undang Undang Cipta Kerja melalui Perppu.
"Aspek Indonesia telah mempelajari isi salinan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 yang beredar di masyarakat sejak semalam," ucap Mirah kepada Tribunnews, Senin (2/1/2023).
"Ternyata, isinya hanya copy paste dari isi Undang Undang Cipta Kerja, yang ditolak oleh masyarakat termasuk serikat pekerja. Kalaupun ada perbedaan redaksi, ternyata isi Perppu Nomor 2 Tahun 2022 justru semakin tidak jelas dan tidak ada perbaikan sebagaimana yang dituntut oleh serikat pekerja," sambungnya.
Baca juga: Perppu Cipta Kerja Bolehkan Perusahaan PHK Pekerjanya karena 15 Alasan Ini
Mirah Sumirat menegaskan, demi menjamin hak kesejahteraan rakyat dan memberikan keadilan serta kepastian hukum, Aspek Indonesia menuntut kepada Pemerintah untuk membatalkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dan menggantinya dengan menerbitkan Perppu Pembatalan Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja.
Serta memberlakukan kembali Undang Undang yang ada sebelum adanya Undang Undang Cipta Kerja.
Ia juga menegaskan, ada 2 alasan prinsip perlunya Perppu Pembatalan Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja.
Pertama, alasan formil, karena Mahkamah Konstitusi pada 25 November 2021 telah memutuskan Undang Undang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dengan kewajiban kepada Pemerintah untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu dua tahun, menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta larangan menerbitkan peraturan pelaksana baru sebagai turunan dari Undang Undang Cipta Kerja.
Alasan kedua perlunya Perppu Pembatalan Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja, menurut Mirah Sumirat adalah terkait aspek materiil.
Baca juga: Denny Indrayana Sebut Presiden Jokowi Lecehkan MK karena Terbitkan Perppu Cipta Kerja
Ia mengungkapkan, dampak buruk Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja khususnya kluster Ketenagakerjaan, telah membuat pekerja Indonesia semakin miskin.
Hal ini karena Undang Undang Cipta Kerja telah menghilangkan jaminan kepastian kerja, jaminan kepastian upah dan juga jaminan sosial bagi pekerja Indonesia.
"Terbitnya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 hanya semakin menegaskan bahwa rakyat Indonesia selama ini hanya dijadikan obyek untuk keuntungan pemilik modal, yang memanfaatkan DPR selaku legislatif dan Pemerintah selaku eksekutif," pungkasnya.