News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Ekonom INDEF: Skema Power Wheeling Tak Relevan dengan Beban Negara Saat Ini

Penulis: Reynas Abdila
Editor: Choirul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development INDEF Abra Talattov.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development INDEF Abra Talattov berpendapat, ketenagalistrikan merupakan sektor strategis yang harus dikendalikan oleh negara.

Menurutnya, pengusulan skema power wheeling atau pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik harus dikawal agar tidak masuk Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (EBT).

"Saya kira dalih percepatan transisi energi melalui skema power wheeling sangat tidak masuk akal dan aroma liberalisasinya sangat menyengat," ujar Abra dalam keterangan tertulis, Jumat (27/1/2023).

Abra memaparkan ada tiga alasan mengapa publik perlu mencermati pasal-pasal siluman dalam RUU EBT tersebut (pasal 29 A, pasal 47 A, pasal 60 ayat 5).

Pertama, tidak ada urgensi sama sekali untuk menjadikan skema power wheeling sebagai pemanis atau sweetener dalam menstimulasi porsi pembangkit EBT.

Abra menjelaskan bahwa tanpa adanya gula-gula pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik.

Pemerintah sebetulnya sudah menggelar karpet merah bagi swasta untuk memperluas bauran EBT sebagaimana yang dijaminkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030. 

Dalam RUPLT paling green itu, target tambahan pembangkit EBT mencapai 20,9 gigawatt (GW) dengan porsi swasta mencapai 56,3 persen atau setara dengan 11,8 GW.

Baca juga: Skema Power Wheeling Sektor Kelistrikan Memberatkan Operator, Ini Alasannya

"Artinya, dengan menjalankan RUPTL 2021-2030 secara konsisten saja, secara alamiah bauran pembangkit EBT hingga akhir 2030 akan mencapai 51,6 persen," tegasnya.

Kedua, pengusulan skema power wheeling kurang relevan, mengingat saat ini beban negara yang semakin berat menahan kompensasi listrik akibat kondisi oversupply listrik yang terus melonjak. 

Abra mengatakan, saat ini kondisi sektor ketenagalistrikan kita sangat miris karena terjadi disparitas yang lebar antara supply dan demand listrik.  

Baca juga: Pemerintah Dinilai Perlu Mengkaji Ulang Skema Power Wheeling dalam RUU EBT

Hingga akhir Tahun 2022 lalu saja oversupply menyentuh sekitar 7 GW.

"Situasi oversupply listrik tersebut berpotensi makin membengkak karena masih adanya penambahan pembangkit baru hingga 16,3 GW pada 2026 sebagai implikasi dari megaproyek 35 GW," katanya.

Ketiga, implikasi kerusakannya terhadap kesehatan keuangan negara. 

Di tengah kondisi oversupply listrik sebesar 1 GW saja, lanjut Abra, biaya yang harus dikeluarkan negara melalui PLN atas konsekuensi skema Take or Pay bisa mencapai Rp 3 triliun per GW.

"Secara sederhana kalau kita asumsikan rata-rata oversupply listrik sebesar 6-7 GW per tahun, maka potensi oversupply selama 2022-2030 mencapai 48GW - 56 GW atau setara dengan tambahan biaya Rp 144-168 triliun," pungkasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini