Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Analis pasar keuangan yang juga Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus mengingatkan pemerintah, posisi utang jatuh tempo dalam 1 tahun dan 3 tahun ke depan meningkat masing-masing 7,9 persen secara year on year (yoy) dan 24,1 persen yoy atau secara tahunan.
Angka tersebut merujuk data Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR).
"Sementara, utang jatuh tempo 5 tahun meningkat menjadi 42,1 persenm Di mana utang tersebut merupakan sumber pembiayaan pelengkap dalam membiayai proyek-proyek prioritas maupun program-program strategis yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan transformasi ekonomi," ujar dia melalui risetnya, Selasa (14/2/2023).
Nico menyampaikan, kondisi tersebut tentunya mendorong pemerintah melakukan pengelolaan utang dengan lebih baik.
"Sebelumnya DJPPR menyampaikan, bahwa jatuh tempo utang Indonesia masih di zona aman dengan average time maturity 8,27 tahun," katanya.
Alhasil, momentum pemulihan ekonomi perlu dijaga hal ini untuk mendukung kemampuan Indonesia membayar utangnya dan juga perlu diperkuat sisi kebijakan fiskal.
Berdasarkan data Bank Indonesia, di mana rasio pembayaran utang atau Debt to Service Ratio (DSR) Tier-1 Indonesia mengalami penurunan.
Baca juga: Laporan Kementerian Keuangan: Utang Pemerintah Sentuh Rp 7.733 Triliun Hingga Akhir 2022
DSR Tier-1 Indonesia pada kuartal III 2022 tercatat sebesar 16,9 persen atau turun dari kuartal II 2022 yang sebesar 17,92 persen.
Menurut Nico, hal ini memberikan indikasi di mana dorongan pemerintah dalam disiplin fiscal dilakukan dengan prudent atau hati-hati.
Baca juga: Utang Pemerintah Hingga September 2022 Naik 2,54 Persen Jadi Rp7.420 Triliun
Dia menambahkan, penurunan rasio tersebut juga tentunya mengindikasikan bahwa pengelolaan utang Indonesia semakin membaik.
"Namun demikian, pencapaian tersebut perlu dijaga dimana Debt to Service Ratio dapat dipengaruhi kondisi utang jatuh tempo dan kondisi penerimaan transaksi berjalan. Kondisi ini bisa saja terpengaruh imbal kondisi ketidakpasatian ekonomi global berpotensi mendorong neraca transaksi berjalan," pungkas Nico.