Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bank Indonesia (BI) memprediksi kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia sulit menembus ke angka 5,3 persen di 2023.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan, pertumbuhan ekonomi domestik di 2023 hanya akan berada pada di kisaran 4,5 persen hingga 5,3 persen.
Dengan demikian, angka pertumbuhannya tidak akan lebih baik dibandingkan tahun 2022 yang sebesar 5,31 persen.
Baca juga: Membangkitkan Industri UMKM Pasca-pandemi Covid-19 Demi Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
"Pertumbuhan ekonomi bias ke atas 4,5 persen hingga 5,3 persen, berarti titik tengahnya 4,9 persen. Kalau bias ke atas bisa lebih dari 4,9 persen. Tapi apakah bisa lebih tinggi dari 5,3 persen? Kemungkinan pandangan Bank Indonesia belum," ucap Perry dalam konferensi pers di Kantor pusat BI, Kamis (16/2/2023).
Namun, dirinya juga tak menutup kemungkinan jika pertumbuhan ekonomi di Indonesia dapat melesat ke angka 5,3 persen. Dengan syarat, volume ekspor Indonesia juga meningkat.
Seperti diketahui, salah satu negara utama tujuan ekspor Indonesia yakni China, sedang menerapkan kebijakan Zero Covid-19 Policy.
Kebijakan tersebut tentunya sangat berdampak terhadap nilai ekspor domestik.
"Kecuali kalau ekspor ke China itu melonjak dan konsumsi swasta melonjak. Perkiraan kami pertumbuhan ekonomi kita bias ke atas sekitar 5,1 persen," papar Perry.
BI juga meramal pertumbuhan ekonomi global berpotensi lebih tinggi dari prakiraan sebelumnya yang sebesar 2,3 persen.
Baca juga: Target Pertumbuhan Ekonomi 2023 Diyakini Tercapai Jika Pemerintah dan Dunia Usaha Bersinergi
Hal ini dipengaruhi Amerika Serikat (AS) dan Eropa yang diperkirakan ekonominya melambat dengan risiko resesi yang masih tinggi.
Sementara itu, inflasi global menurun secara gradual dipengaruhi perlambatan pertumbuhan ekonomi global dan perbaikan gangguan rantai pasokan, meskipun tetap di level tinggi seiring harga energi dan pangan yang belum turun signifikan dan pasar tenaga kerja terutama di AS dan Eropa yang masih ketat.
"Inflasi yang melandai diprakirakan mendorong kebijakan moneter ketat di negara maju mendekati titik puncaknya, dengan suku bunga diprakirakan masih tetap tinggi di sepanjang 2023," pungkas Perry.