TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pelepasan saham perdana atau initial public offering (IPO) PT Pertamina Geothermal Energy dinilai penting untuk optimalisasi bauran energi, yakni meningkatkan bauran energi terbarukan guna mencapai 34 persen pada 2030.
Selain itu, juga berperan besar dalam pencapaian target Net Zero Emission (NZE) pada 2060. Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa.
‘’IPO ini dimaksudkan untuk memperkuat pemodalan PGE untuk berinvestasi pengembangan panas bumi. Hal ini seiring rencana Indonesia mencapai NZE dan meningkatkan bauran energi terbarukan, yakni mencapai 34% pada 2030,’’ jelas Fabby kepada media hari ini.
Baca juga: Anggota Komisi VI DPR Andre Rosiade: IPO PGE Bukan Privatisasi
Fabby mengatakan, IPO PGE selaras dengan rencana pemerintah untuk menambah pasokan kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) sebesar 7 GW pada 2030.
Saat ini, lanjut dia, PGE mengoperasikan 672 MW secara Own Operation dan 1205 MW melalui Joint Operation Contract (JOC).
Sementara itu PGE menargetkan dapat meningkatkan kapasitas terpasang yang dikelola langsung PGE menjadi 1.272MW pada 2027.
“Dana yang didapat dari IPO ini dialokasikan untuk eksplorasi panas bumi dan ekspansi PLTP untuk menambah kapasitas. Ini berkaitan langsung dengan rencana strategis PGE,” ujarnya.
Dihubungi terpisah, anggota Komisi VII DPR RI Sartono Hutomo mengatakan, proses transisi energi membutuhkan pembiayaan sangat besar.
Pemerintah melalui Menteri Keuangan mengungkapkan, Indonesia membutuhkan dana Rp 4.000 triliun untuk mencapai target penurunan emisi karbon.
Di antaranya, meliputi dana Rp 3.500 triliun khusus untuk proses transisi energi dari fosil ke energi terbarukan.
“Angka ini jauh dari nilai APBN kita. Maka dibutuhkan sumber pendanaan untuk melakukan transisi energi ini,’’ ujar Sartono.
Dalam konteks itulah Sartono melihat esensi IPO PGE.
Menurutnya, pelepasan saham PGE sebesar 25% dimaksudkan untuk pengembangan potensi panas bumi di Indonesia yang memiliki cadangan terbesar di dunia dengan potensi sumber daya sebesar 11.073 MW dan cadangan sebesar 17.506 MW.
Sedangkan rata-rata investasi untuk pembangkit panas bumi di kisaran US$ 5 juta hingga US$ 7 juta per megawatt (MW).
Oleh karena itu, PGE membutuhkan dana untuk mengembangkan kapasitasnya, yang sekaligus dapat meningkatkan sumber energi baru dan terbarukan di Indonesia.
“Oleh karenanya dibutuhkan alternatif pemanfaatan lain untuk menyerap energi panas bumi,” kata Sartono.
Dia juga menegaskan, pelepasan saham maksimal 25%, PGE tetap menjadi pemegang saham terbesar dan dan tetap sebagai penentu dalam mengambil langkah kebijakan korporasi.
“Proses IPO harus kita pantau bersama. Dimana harus sesuai dengan komitmen pelepasan saham maksimal 25%,” tutup Sartono.