Laporan Wartawan Tribunnews.com Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, KOLOMBO – Pemerintah Sri Lanka mengumumkan kenaikkan tarif listrik di negaranya sebesar 66 persen, dengan tagihan baru kini total harga listrik Sri Lanka telah melonjak jadi 275 persen.
Imbas kebijakan tersebut, CNBC International mencatat masyarakat di Sri Lanka kini harus membayar tagihan listrik sebesar 30 rupee per kilowatt jam, jumlah tersebut naik drastis bila dibandingkan dengan tagihan sebelumnya tarif enam bulan lalu.
Sebelum pemerintah resmi menaikkan tagihan listrik, di sepanjang tahun 2022 Sri Lanka memberlakukan aturan pemadaman listrik harian selama 13 jam, akibat utilitas negara kehabisan uang untuk membeli bahan bakar generator.
Baca juga: India Sampaikan Dukungan Terkait Rencana Restrukturisasi Utang Sri Lanka ke IMF
Khawatir kondisi tersebut akan berangsur – angsur memburuk, pemerintah pusat akhirnya setuju untuk menaikkan anggaran negaranya dengan mengerek harga listrik sesuai dengan instruksi Dana Moneter Internasional (IMF).
Meski kebijakan ini membuat nasib 22 juta warga Sri Lanka hidup dalam penderitaan akibat kesulitan untuk memenuhi kebutuhan listrik ditengah ancaman krisis.
Namun menteri Energi Kanchana Wijesekera menilai cara ini merupakan langkah yang tepat untuk mengakhiri pemadaman listrik nasional.
Lantaran kenaikan harga akan membantu kementerian ketenagalistrikan mengimbangi kesenjangan yang disebabkan oleh penghentian subsidi pemerintah.
Dengan begini Sri Lanka dapat memenuhi syarat bantuan dana talangan senilai 2,9 miliar dolar AS yang telah dijanjikan IMF sejak September tahun lalu.
"Kami harus menaikkan biaya listrik agar kita dapat mengakhiri pemadaman nasional sesuai dengan ketentuan IMF.
Baca juga: Masih Dihantui Krisis Ekonomi, Sri Lanka Negosiasikan Lagi Pakta Perdagangan dengan3 Negara
Kami tahu bahwa ini akan sulit bagi masyarakat, terutama masyarakat miskin, tetapi Sri Lanka terjebak dalam krisis keuangan dan kami tidak punya pilihan,” tambah Wijesekera, pada Kamis (17/2/2023).
Sebagai informasi kebangkrutan yang melanda Sri Lanka bermula akibat adanya krisis valuta asing atau mata uang yang disebabkan oleh kesalahan pengelolaan ekonomi selama berlangsungnya pandemi Covid-19.
Kondisi tersebut makin diperparah dengan adanya lonjakan harga pangan dan bahan bakar di pasar global.
Baca juga: Inflasi Sri Lanka Menurun ke 57,2 Persen di Desember
Munculnya tekanan ini yang kemudian memicu pukulan inflasi, hingga utang Sri Lanka membengkak lebih dari 100 miliar dolar AS.
Kondisi ekonomi Sri Lanka yang memburuk bahkan turut membuat jutaan warga menggelar protes untuk menggulingkan presiden Gotabaya Rajapaksa.
Meski kini posisi kepemimpinan di Sri Lanka telah berubah.
Namun hal tersebut tak lantas membuat perekonomian Sri Lanka pulih, justru sejak tahun lalu ekonomi negara ini dilaporkan susut hingga 11 persen,.
Sejumlah ahli memprediksi kebangkrutan akan terus dialami Sri Lanka hingga tahun 2026. Proyeksi ini dilontarkan setelah krisis di Sri Lanka kian memburuk sehingga membuat jutaan warga hidup dalam kemiskinan panjang.