News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Jelang Puasa dan Lebaran Ekspor Minyak Sawit Dibatasi, Jaga Pasokan Dalam Negeri

Editor: Hendra Gunawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi minyak goreng. Menjelang Hari Raya Idul Fitri 2023 pemerintah mulai membatasi ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO).

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Menjelang Hari Raya Idul Fitri 2023 pemerintah mulai membatasi ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO).

Pembatasan ekspor ini dilakukan untuk megantisipasi permintaan minyak goreng dalam negeri saat bulan Ramadhan dan Lebaran yang dipastikan akan meningkat.

Plt Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Kasan mengatakan, pembatasan ekspor produsen minyak sawit tersebut bakalan dilakukan hingga Lebaran.

Baca juga: Kemendag Temukan Produk Minyakita Palsu di Sragen Jawa Tengah, Harganya di Atas Rp14.000 per Liter

"Keran hak ekspor ini akan kembali dibuka sepenuhnya setelah Lebaran 2023," kata Kasan di Gedung Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (21/2/2023).

Menurutnya, hak ekspor saat ini ada 5,9 juta hampir 6 juta ton.

"Hanya boleh dicairkan itu sepertiganya, dua pertiganya tidak bisa dicairkan sampai nanti setelah lebaran," ujarnya.

Diungkapkannya, pemerintah telah menaikkan batas pasokan wajib dalam negeri (domestic market obligation/DMO) yang wajib dipenuhi eksportir CPO menjadi 50 persen.

Dengan demikian, eksportir wajib memasok minyak goreng ke pasar dalam negeri menjadi 450.000 ton dari sebelumnya 300.000 ton.

"Saya dan teman-teman monitor harian, lalu distribusinya kita pastikan dengan teman-teman Satgas Pangan maupun Dinas Perdagangan di daerah. Kita memastikan jalurnya lewat pasar tradisional dari produsen ke D1, D2 ke pengecer," ucapnya.

Baca juga: Sebanyak 75 Ton MinyaKita Ditemukan di Sebuah Gudang, Polda Sumut Belum Temukan Indikasi Penimbunan

Kedua kebijakan tersebut diambil sebagai respons atas kelangkaan MinyaKita dan harganya yang cenderung mengalami kenaikan dalam beberapa waktu terakhir.

Untuk itu, dia menekankan, produk minyak goreng subsidi itu hanya boleh dikonsumsi oleh masyarakat kalangan menengah ke bawah.

"Sekarang kita fokus jalur distribusi hanya lewat pasar tradisional, konsumennya konsumen RT, pendapatan menengah ke bawah.

Jadi lewat jalur distribusi lain kita tutup. Jadi MinyaKita khusus untuk konsumen tertentu," tukasnya.

Beberapa waktu lalu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan, pemerintah juga menetapkan adanya pembekuan sebagian hak ekspor.

Baca juga: Sebanyak 75 Ton MinyaKita Ditemukan di Sebuah Gudang, Polda Sumut Belum Temukan Indikasi Penimbunan

Artinya, sebagian jatah ekspor akan ditunda realisasinya.

“Pemerintah juga memutuskan untuk mendepositokan sebagian hak ekspor yang dimiliki eksportir saat ini, jadi eksportir tetap dapat menggunakan hak ekspor tersebut nanti setelah situasi kembali mereda,” ungkap Luhut, dikutip dari akun Instagram resminya, Senin (6/2/2023).

Di sisi lain, pemerintah juga akan meningkatkan insentif ekspor untuk para pengusaha agar pasokan minyak goreng di Indonesia tetap terjaga.

“Hal ini dilakukan semata-mata untuk menjaga pasokan dalam negeri dan menjamin harga tetap stabil,” sambung Luhut.

Ekonom senior Faisal Basri menilai banyak kebijakan Pemerintah yang kurang tepat terkait dengan tata niaga minyak goreng di Indonesia.

Kebijakan yang tidak tepat tersebut memicu krisis minyak goreng di berbagai daerah seperti terjadi di 2022 lalu.

Faisal Basri mencontohkan intervensi yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi krisis minyak goreng pada tahun lalu dinilai sebagai kebijakan yang keliru.

Kebijakan pemerintah menerapkan harga eceran tertinggi (HET) maupun pembatasan ekspor crude palm oil (CPO) melalui peraturan domestic market obligation (DMO) justru menjadi pemicu kelangkaan minyak goreng di mana-mana.

“Intervensi pemerintah seharusnya dilandasi unsur-unsur dasar perumusan kebijakan, termasuk mengukur dampak dari kebijakan tersebut.

Pekerja mengangkut kelapa sawit kedalam jip di Perkebunan sawit di kawasan Bogor, Jawa Barat, Senin (13/9/2021). Harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit. 

Peraturan HET untuk minyak goreng kemasan dan kewajiban DMO untuk eksportir CPO justru menambah hambatan dan mendistrorsi pasar,” ujar Faisal Basri saat memberi keterangan sebagai saksi ahli dalam sidang perkara dugaan kartel minyak goreng di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dikutip Jumat (17/2/2023).

"Kebijakan yang berubah-ubah ini juga menimbulkan ketidakpastian yang menyebabkan kelangkaan di pasar," imbuhnya.

Baca juga: Indonesia dan Malaysia Kompak Melawan Diskriminasi Ekspor CPO ke Uni Eropa

Menurut Faisal, ketika pemerintah menerapkan HET minyak goreng kemasan, kemudian muncul disparitas karena harga yang ditetapkan jauh di bawah harga pasar.

Artinya, produsen dipaksa untuk menjual rugi. Produsen yang hanya memproduksi minyak goreng mungkin akan tetap berproduksi selama masih bisa menutupi variable cost.

Namun, jika berlangsung lama, perusahaan tersebut akan tutup karena tidak bisa lagi menutupi biaya produksi.

Sementara perusahaan-perusahaan sawit yang lebih terintegrasi dan punya alternatif, mereka akan mengalihkan produksinya ke oleochemical atau biodiesel karena ada jaminan harga atau subsisi dari pemerintah.

Baca juga: BLT Minyak Goreng Imbas Lonjakan Harga CPO, Bukan Kerugian Negara

“Kebijakan HET juga menyebabkan harga minyak goreng kemasan menjadi murah dibandingkan harga minyak curah," ungkap Faisal Basri.

Hal ini memicu shifting di masyarakat dari minyak curah ke minyak kemasan, seperti halnya terjadi ketika pemerintah menurunkan harga pertamax. Sementara, produksi relatif tetap, sehingga terjadi ketimpangan antara permintaan dan pasokan alias terjadi shortage.

Dengan demikian, kebijakan HET itu hanya efektif apabila pemerintah memiliki stok cadangan untuk menjamin barang tersedia di pasar.

"Dalam kasus minyak goreng, pemerintah tidak punya stok,” kata Faisal Basri.

Faisal melanjutkan, dari kacamata kebijakan publik, kebijakan pemerintah seharusnya bisa membuat pasar lebih fleksibel. Kebijakan pemerintah juga sebaiknya tidak berbentuk larangan atau bagi-bagi kuota.

Baca juga: Sidang Kasus Minyak Goreng: Saksi Akui HET Pemerintah Tak Bisa Imbangi Harga Keekonomian CPO

“Intervensi pemerintah tidak boleh mengubah model bisnis," tegasnya.

"Nyatanya, lewat kebijakan DMO, pemerintah mewajibkan produsen sawit untuk memproduksi minyak goreng apabila ingin mengekspor. Padahal, belum belum tentu dia punya pabrik minyak goreng,” lanjutnya.

Selain kebijakan HET, Faisal melihat kelangkaan minyak goreng kemasan juga disebabkan oleh masalah distribusi.

Sebab, begitu peraturan HET dibatalkan, dalam waktu singkat barang tersedia lagi di pasar.

“Saya tidak ingin menuduh pihak mana pun karena saya tidak punya data. Bisa saja barang memang ditahan oleh distributor, sub distributor, atau agen.

Namun, dengan waktu yang begitu singkat barang tersedia di pasar, sangat kecil kemungkinan itu dilakukan oleh produsen,” tuturnya. (Kompas.com/Tribunnews.com)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini