Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di level Rp 15.362 pada Senin (20/3/2023) pukul 09.18 WIB.
Jika dicermati lebih detail, nilai tukar mata uang Garuda melemah 17 poin.
Di mana sebelumnya pada akhir pekan kemarin (17/3/2023), nilai tukar rupiah di level Rp 15.345.
Baca juga: Update Harga Kripto 20 Maret 2023: Bitcoin Melesat di Atas 27.000 Dolar
Pengamat Pasar Keuangan Ibrahim Assuaibi mengatakan, fluktuasi nilai tukar mata uang Garuda masih akan terus berlanjut. Namun, diprediksi untuk penutupan hari ini cenderung mengalami penguatan.
"Sedangkan untuk perdagangan senen depan (hari ini), mata uang rupiah kemungkinan dibuka berfluktuatif namun ditutup menguat direntang Rp 15.330 hingga Rp 15.400," ucap Ibrahim dalam analisanya, (18/3/2023).
Baca juga: Penguatan Rupiah Ditopang Pembelian SBN Rp 40 Triliun oleh Asing Sejak Awal 2023
Ibrahim juga membeberkan penguatan rupiah pada kemarin dipengaruhi sejumlah faktor, baik eksternal maupun internal.
Untuk faktor eksternal, melemahnya rupiah didorong sentimen turunnya indeks dolar AS.
Dolar tergelincir pada hari Jumat karena sentimen risiko membaik setelah otoritas dan bank di global bergerak untuk mengurangi tekanan pada sistem keuangan di pasar utama, menghilangkan tekanan dari mata uang utama lainnya yang jatuh di awal minggu setelah gejolak perbankan.
Sementara untuk internal, penguatan rupiah terdorong statement Bank Indonesia (BI) yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi global 2023 diperkirakan lebih baik dari proyeksi sebelumnya.
Pertumbuhan dapat mencapai 2,6 persen sejalan dengan dampak positif pembukaan ekonomi Tiongkok dan penurunan disrupsi suplai global.
Sebagai informasi, pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) dan Eropa lebih baik dari proyeksi sebelumnya dan diikuti oleh risiko resesi yang menurun.
Perbaikan prospek ekonomi global itu diperkirakan menaikkan harga komoditas non-energi di tengah harga minyak yang menurun akibat berkurangnya disrupsi suplai global.
Perkembangan positif ekonomi global itu dan ekspektasi kenaikan upah karena keketatan pasar tenaga kerja di AS dan Eropa mengakibatkan proses penurunan inflasi global khususnya di kedua belahan dunia itu berjalan lebih lambat sehingga mendorong kebijakan moneter ketat negara maju berlangsung lebih lama sepanjang 2023.