TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah menghadapi beberapa tantangan dalam mendorong hilirisasi pertambangan dengan membangun berbagai proyek smelter di dalam negeri.
Tantangan tersebut mulai dari tata kelola atau Environmental Social and Governance (ESG) hingga persoalan pendanaan.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) periode 2016-2019 Ignasius Jonan mengatakan, salah satu tantangan pengembangan industri ekstraktif di Indonesia ialah soal kepatuhan terhadap standar lingkungan, sosial, dan ESG.
Baca juga: Pemerintah Telah Susun Peta Jalan Hilirisasi Mineral Nikel hingga 2045
“Kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh perusahaan akan mempengaruhi bisnis dan juga nilai saham perusahaan kalau terdaftar di Bursa Efek. ESG sangat penting untuk hilirisasi pada seluruh industri ekstraktif,” ungkap Jonan dalam acara Mining and Finance Forum dikutip dari Kontan Selasa (21/3/2023).
Menurutnya, asosiasi akuntan global kini tengah mengubah standar pelaporan keuangan, yang di dalamnya akan menghitung dampak kerusakan lingkungan.
“Asosiasi akuntan seluruh dunia sedang mengubah standar pelaporan keuangan, menghitung kembali dampak kerusakan lingkungan. Lembaga keuangan, Otoritas Jasa Keuangan, regulator, dan pelaku industri mesti duduk bersama untuk menentukan parameter karena akan berdampak pada industri ekstratif ini,” jelas Jonan yang menjabat sebagai Presiden Komisaris Marsh Indonesia itu.
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Ditjen Minerba Kementerian ESDM Ediar Usman menjelaskan, tantangan lainnya dalam pengembangan hilirisasi yaitu soal pendanaan.
Ada sejumlah proyek smelter yang macet pembangunannya lantaran kendala pembiayaan.
Sejauh ini, pemerintah terus berupaya menawarkan proyek smelter kepada para investor di dalam negeri maupun di luar negeri untuk memperoleh dukungan pembiayaan.
“Banyak fasilitas pemurnian kita yang tidak tepat waktu. Masalah yang sering kita temui adalah pendanaan. Kita coba lakukan market sounding dengan lembaga di dalam negeri dan internasional untuk memecahkan kendala keuangan,” kata Ediar.
Presiden Direktur Marsh Indonesia Douglas Ure mengatakan, Indonesia sebenarnya memiliki sumber daya nikel yang melimpah.
Pembangunan proyek hilirisasi akan mengantarkan Indonesia sebagai pemain global kendaraan listrik.
Pemain industri nikel perlu didorong untuk memperhatikan kredensial lingkungan. Sebab, aspek keberlanjutan saat ini menjadi perhatian serius bagi investor dan konsumen.
“Nikel menjadi komponen utama yang digunakan dalam industri. Produsen otomotif dan konsumen akhir mengharapkan rantai pasokan yang dikelola dengan baik dan ramah lingkungan. Jika kredensial lingkungan dan kerangka peraturan Indonesia tidak berkembang lebih jauh, hal ini dapat mengakibatkan hilangnya kesempatan mendatangkan investasi,” pungkas Douglas. (Filemon Agung/Kontan)