Laporan Wartawan Tribunnews.com Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON – Perekonomian Amerika Serikat (AS) kini terancam mengalami default setelah Menteri Keuangan Janet Yellen menyatakan utang Pemerintah AS membengkak 31,45 triliun dolar AS per 31 Maret 2023.
Kondisi mengkhawatirkan ini terjadi pasca kongres AS gagal menaikkan pagu atau batas pinjaman di tengah lonjakan utang. Dalam sejarah, perekonomian AS tidak pernah mengalami default.
Namun apabila default ini benar-benar terjadi, maka ancaman tersebut akan memicu bencana ekonomi yang akan mendorong suku bunga AS melesat lebih tinggi untuk tahun-tahun mendatang.
"Kegagalan negara akibat default berpotensi besar menimbulkan bencana ekonomi dan keuangan. Hal itu lantaran default dapat menaikkan biaya kredit selamanya, serta membuat investasi masa depan dipatok lebih mahal," kata Yellen dikutip dari Reuters.
Pengertian default
Perlu diketahui, default merupakan keadaan suatu negara yang tidak dapat membayar kewajibannya untuk membayarkan tagihan utang sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan.
Sementara menurut buku “Hukum Pembiayaan Usaha” yang ditulis Rio Christiawan, default merupakan pelanggaran terhadap kondisi-kondisi yang telah disepakati bersama,. Sederhananya default adalah batalnya perjanjian pembiayaan sebelum jangka waktu yang disepakati berakhir.
Default sendiri dapat terjadi pada berbagai jenis utang, seperti utang pemerintah, utang perusahaan, atau utang perorangan.
Baca juga: AS Terancam Default, Janet Yellen Singgung Bencana Ekonomi, Analis Sebut Ada Dampak ke Rupiah
Meski default bukanlah akhir dari segalanya, namun ancaman gagal bayar utang ini apabila tak ditangani dengan baik maka dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi negara tersebut.
Penyebab Default
Penyebab utama suatu negara dapat mengalami default yakni imbas dari adanya stagnasi ekonomi. Stagflasi sendiri merupakan istilah gabungan dari kata stagnasi dan inflasi.
Apabila kedua kata tersebut digabungkan maka stagnasi dapat diartikan sebagai pertumbuhan ekonomi yang lambat ditengah melonjaknya tingkat pengangguran dan inflasi.
Baca juga: Ekonom Ungkap Kebijakan-kebijakan Yang Mampu Redam Potensi Default AS
Munculnya masalah tersebut yang kemudian membuat kepercayaan kreditur asing dan domestic mulai terkikis hingga mereka enggan untuk menanamkan modal sahamnya dan berimbas pada menurunnya laba pendapatan suatu negara.
Analisis jasa keuangan Moody's menjelaskan bahwa ancaman default juga dapat terjadi imbas kenaikkan suku bunga yang berlebih yang kemudian mendorong terjadinya krisis likuiditas atau mata uang.
Daftar negara yang pernah mengalami default
Dikutip dari World Finance, kondisi gagal bayar utang pertama kali dialami oleh Yunani tepatnya pada 377 SM. Kemudian disusul oleh Spanyol yang mengalami gagal bayar utang 6 kali pada 1700-an dan 7 kali pada 1800-an.
Baca juga: Kinerja Ekspor Indonesia Dibayangi Ancaman Default AS, Ini Sektor yang Terdampak
Adapun daftar negara-negara yang pernah mengalami kondisi gagal bayar utang terparah dalam sejarah dunia.
1. Amerika Serikat
Kendati Sekretaris Pers Gedung Putih Jean Pierre menegaskan Amerika tidak pernah gagal dalam membayarkan tagihan utang.
Namun nyatanya pada pada 1840-an negara Paman Sam ini pernah mengalami kondisi gagal bayar utang.
Situasi ini awalnya dipicu pembangunan kanal secara besar-besaran hingga menyebabkan hutang menggunung mencapai 80 juta dollar AS . Walau sebagian besar utang telah dilunasi pada akhir tahun 1840-an.
Namun default tersebut telah memicu turunnya kepercayaan investor pada pasar saham AS dan berimbas pada melonjaknya suku bunga lantaran terpengaruh kenaikkan yield.
Treasury juga tidak lagi dipandang sebagai aset aman atau safe haven, hal ini tentunya akan mempengaruhi kinerja pasar saham AS Wall Street hingga dapat turun ke peringkat terendah dalam sejarah.
2. Meksiko
Negara Meksiko dilaporkan pernah mengalami gagal bayar utang pada 1994 Pada 1994, tepatnya ketika mata uang peso mengalami devaluasi terhadap dollar AS sebesar 15 persen.
Devaluasi tersebut kemudian memicu pelarian investor asing yang dengan cepat menarik modal dan menjual saham, saat Bursa Efek Meksiko menukik.
Dampak dari krisis keuangan ini yang membuat Meksiko mengalami kesulitan membayarkan tagihan utang.
3. Islandia
Islandia menjadi negara selanjutnya yang pernah mengalami gagal bayar utang pada 2008.
Default dialami negara Nordik tersebut setelah tiga bank terbesarnya, yaitu Glitnir, Kaupthing, dan Landsbanki bangkrut dan gagal membayarkan tagihan utang lebih dari 85 miliar dollar AS.
Kondisi ekonomi Islandia kian parah usai kepala pemerintahan negara itu memilih untuk memotong kekayaan deposan dari 50.000 deposan.
Sayangnya cara tersebut gagal menstabilkan kondisi ekonomi, justru masyarakat Islandia semakin mengalami kesengsaraan yang berkepanjangan.
4. Sri Lanka
Mengutip dari BBC International, Sri Lanka telah gagal bayar utangnya untuk pertama kalinya dalam sejarahnya karena negara itu tidak bisa melunasi tagihan utang sebesar lebih dari 100 miliar dolar AS pada pertengahan tahun lalu.
Ini terjadi lantaran dampak dari adanya krisis valuta asing atau mata uang, yang disebabkan oleh kesalahan pengelolaan ekonomi selama berlangsung pandemi Covid-19.
Kondisi tersebut makin diperparah dengan adanya lonjakan harga pangan dan bahan bakar di pasar global.
Hal tersebut yang kemudian kondisi ekonomi Sri Lanka mengalami krisis di tengah melonjaknya harga makanan sebanyak 84,6 persen, sementara harga barang non-makanan naik 57,1 persen.
IMF cari mekanisme baru cegah default
Guna menghambat dampak resesi, Dana Moneter Internasional (IMF) mengungkap bahwa para petinggi tengah mencari mekanisme baru untuk mencegah terjadinya ancaman default terutama bagi negara – negara berkembang.
Diantaranya dengan memberikan suntikan dana dengan cara melakukan pemberi pinjaman jalur kredit secara ekstensif untuk menjaga kredibilitas ekonomi suatu negara
Pemberian suntikan dalam bentuk insentif dimaksudkan untuk mencegah negara-negara berpenghasilan rendah tidak melakukan pinjaman secara berlebihan.
Untuk mendukung rencana tersebut, pekan ini IMF juga akan mengadvokasi bank sentral untuk melanjutkan upaya mereka dalam menahan inflasi serta menekankan langkah-langkah fiskal dengan baik agar tidak mengganggu target penurunan inflasi