"Peternak rakyat harus bertarung bebas dengan perusahaan besar. Perusahaan dengan modal jumbo dan menguasai rantai pasar. Mulai dari day old chicken atau ayam yang akan dibesarkan hingga pasokan pakan," ujar Amin.
Menurut Amin, perusahaan besar ini seharusnya masuk ke pasar modern dan pasar ekspor, bukan ke pasar tradisional.
"Tanpa proteksi, sulit bagi peternak rakyat yang bermodal kecil bisa bersaing dengan pemodal besar yang menguasai rantai dari hulu hingga hilir," kata Amin.
Ia mengatakan kondisi tersebut diperparah dengan melambungnya harga pakan, terutama jagung, yang menyumbang 50 persen komposisi pakan ayam.
Menurut catatan Amin, tahun ini harga jagung pada Januari-Maret dibanderol sebesar Rp4 ribu per kilogram.
Lalu, harga tersebut melonjak mulai April hingga saat ini di kisaran Rp5.500-Rp6.000 per kilogram.
"Di saat peternak rakyat akan bangkit setelah rontok dihantam pandemi, mereka justru harus berjuang akibat menghadapi produsen raksasa dan mahalnya harga pakan," ujar Amin.
Dampaknya, kata Amin, terasa saat ini. Akibat gagalnya peternak rakyat bangkit dan tumbuh kembali, populasi ternak pun jauh menurun drastis.
"Sehingga, lonjakan harga telur pun sulit dikendalikan dan bertahan dalam waktu yang cukup lama," katanya.
Ia mengatakan lonjakan harga telur ini akan memunculkan efek domino (multiplier effect).
Berbagai usaha yang memiliki ketergantungan pada telur sebagai bahan baku akan kena dampaknya, terutama usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
"Misalnya saja UMKM produsen kue, roti, dan industri kecil makanan dan minuman," ujar Amin.
Ia pun berharap pemerintah dapat menyelesaikan akar persoalan lonjakan harga telur ini.
"Terutama untuk jangka panjang, pemerintah harus begerak cepat menghidupkan kembali peternakan rakyat agar kebutuhan telur dan ayam untuk rakyat bisa terpenuhi," kata Amin.
"Kebutuhan ini jauh lebih penting dan strategis bagi rakyat, ketimbang menyubsidi perusahaan pemain pasar kendaraan listrik, yang berkedok subsidi untuk konsumen," lanjutnya.