TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pelaku usaha di sektor tambang batu bara khawatir akan terganggunya kegiatan produksi batu bara, akibat kelangkaan ban (off the road) yang digunakan di alat berat.
"Saat ini pelaku usaha menghadapi kendala serius berupa keterbatasan pasokan ban off the road untuk alat berat yang digunakan dalam kegiatan pertambangan. Jika kondisi ini berkepanjangan dikhawatirkan dapat menghambat kelancaran ekspor serta pasokan batubara ke Perusahaan Listrik Negara (PLN)," ungkap Direktur Eksekutif Asosiasi Usaha Jasa Pertambangan Indonesia (Aspindo) Bambang Tjahyono, Selasa (20/6/2023).
Baca juga: Emiten Alat Berat Bukukan Keuntungan Rp63,46 Miliar di Kuartal I 2023
Kondisi ini juga menjadi kekhawatiran bersama dari Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (Aspindo-IMSA), Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI– ICMA), dan Perkumpulan Tenaga Ahli Alat Berat Indonesia (PERTAABI).
Ketiga Asosiasi yang menaungi stakeholder pertambangan batubara ini pun menyampaikan potensi gangguan terhadap produksi pertambangan batubara di Indonesia tersebut ke pemerintah sejak beberapa bulan lalu.
Bambang mengatakan, jika ini terus diberlangsung dalam beberapa bulan ke depan, aktivitas produksi akan terganggu dan ini akan berdampak pada target peningkatkan produksi batubara di tahun 2023 yang dicanangkan Pemerintah.
Dampak lainnya tentu pasokan batu bara ke pasar domestik termasuk ke sektor ketenagalistrikan akan berdampak. Perlu diingat bahwa ban menjadi salah satu komponen penting dalam kegiatan operasi produksi di pertambangan batubara.
Sebagai informasi, dalam kegiatan pertambangan jenis ban yang umumnya digunakan adalah jenis ban radial, bukan ban bias. Sampai saat ini belum ada pabrik di Indonesia yang memproduksi ban off the road radial. Jika kami terpaksa menggunakan ban jenis bias, umur pakai ban tersebut sangat pendek sehingga mengakibatkan biaya produksi menjadi sangat tinggi.
"Kami sangat berharap ban jenis radial dapat diproduksi di Indonesia dengan kualitas yang memadai, sehingga dapat mendukung program peningkatan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) pemerintah dan kami pun dapat meminimalkan dampak ekonomi yang timbul dalam hal terjadi keterbatasan pasokan ban," ungkap Bambang.
Saat ini berdasarkan informasi yang diterima dari para importir ban, pihak importir API-U belum dapat memenuhi kebutuhan industri karena persetujuan impor (PI) belum diberikan oleh Kementerian Perdagangan. Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi adalah terbitnya Neraca Komoditas (NK) oleh Kementerian Perindustrian.
Baca juga: Respon Program Energi Terbarukan, Ahli Alat Berat Saling Bertukar Informasi di Seminar
"Hal ini telah mengakibatkan stok ban yang dimiliki oleh anggota kami diperkirakan akan habis dalam waktu 2 bulan ke depan. Tentu saja situasi ini sangat mengkhawatirkan tidak saja bagi kami pelaku usaha tetapi juga bagi banyak pihak dalam ekosistem industri pertambangan karena kelangkaan ini berpotensi mengancam kelancaran produksi batubara di Indonesia,"terang Bambang.
Ketiga asosiasi yakni Aspindo-IMSA, APBI–ICMA, dan PERTAABI sebagai mitra pemerintah memahami bahwa sedang ada upaya dari pemerintah untuk mengatasi masalah ini.
Namun mengingat waktu yang sudah semakin singkat, pihaknya berharap Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian dapat segera menyelesaikan persyaratan yang diperlukan sehingga persetujuan impor (PI) dapat diberikan dan stok ban dapat tersedia kembali.
Ketiga Asosiasi ini pun berharap agar ban (off the road radial) dapat diproduksi di Indonesia, sehingga kebutuhan sektor pertambangan batu bara dapat terpenuhi serta meningkatkan nilai TKDN bagi perusahaan pengguna ban off the road.
"Sebagai asosiasi yang mewakili sektor pertambangan batu bara, kami berkomitmen untuk terus menjalin kerja sama dengan pemerintah guna mengatasi tantangan ini. Dengan kerjasama yang baik antara industri pertambangan batu bara dan pemerintah, kita dapat menjaga kelancaran produksi batu bara, meningkatkan kontribusi sektor ini terhadap perekonomian, dan memastikan ketahanan energi nasional,"pungkas Bambang.