Laporan Wartawan Tribunnews.com, Lita Febriani
TRIBUNNEWS.COM - Industri tengah dituntut untuk membuat produk yang lebih ramah lingkungan sebagai langkah kontribusi untuk menjaga menurunkan emisi karbon.
Bukan hanya industri besar, sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) juga wajib ikut mulai beralih memproduksi produk yang lebih ramah lingkungan.
Mendukung usaha para pebisnis untuk berkontribusi pada lingkungan, Kementerian Perindustrian melalui Balai Besar Standardisasi dan Pelayanan Jasa Industri Kerajinan dan Batik (BBSPJIKB) Yogyakarta, menjadi instansi pemerintah yang telah memiliki Lembaga Sertifikasi Industri Hijau.
Baca juga: Ekonom: Sertifikasi Industri Hijau Tingkatkan Daya Saing Indonesia di Pasar Global
Dalam menyelenggarakan kegiatan Sertifikasi Industri Hijau dan menerbitkan Sertifikat Industri Hijau, LSIH BBSPJIKB mengacu pada Standar Industri Hijau (SIH).
"SIH adalah standar industri yang terkait dengan efisiensi bahan baku, bahan penolong, energi, proses produksi, produk, manajemen perusahaan, pengelolaan limbah dan/atau aspek lain yang ditetapkan dan disusun secara konsensus oleh semua pihak terkait yang bertujuan untuk mewujudkan industri hijau," tutur Kepala Balai Besar Standardisasi dan Pelayanan Jasa Industri Kerajinan dan Batik (BBSPJIKB) Kementerian Perindustrian Tirta Wisnu Permana di Yogyakarta, Kamis (22/6/2023).
Dalam rangka mendorong penerapan konsep produksi bersih di industri batik nasional, BBSPJIKB Yogyakarta telah mejalin kerja sama dengan berbagai pihak seperti UNIDO (tahun 2020) dalam program Resource Efficiency and Cleaner Production (RECP) untuk lima sentra batik yang mewakili masing-masing kabupaten kota di Yogyakarta.
Baca juga: Wujudkan Industri Hijau, Kemenperin Berikan Apresiasi Delapan Pabrik Ini
Sebelumnya, BBSPJIKB Yogyakarta telah menjalin kemitraan dengan GTZ - Uni-Eropa (2008-2011) dalam program Clean Batik Initiative yang menjalankan program produksi bersih untuk sentra batik di Indonesia. Misalnya di wilayah Solo, Sragen, Pekalongan, Cirebon dan Banyumas.
"Kami juga bekerjasama dengan Asosiasi Batik Jawa Timur (APBJ) untuk mewujudkan batik ramah lingkungan," ungkap Wisnu.
Bahkan, BBSPJIKB Yogyakarta mendorong pelaku industri batik untuk menerapkan konsep reuse, recycle dan recovery (3R).
Misalnya penggunaan malam bekas untuk didaur ulang sehingga menciptakan nilai efisiensi. Malam yang dimaksud adalah lilin khusus membatik.
Baca juga: Terapkan Prinsip Industri Hijau, APRIL Kembali Terima Penghargaan dari Kemenperin
"Penggunaan zat warna dapat didaur ulang kembali, jadi pemakaian zat warna tidak sekali pakai langsung dibuang ke lingkungan, tetapi dipakai berulang-ulang baru dinyatakan sebagai limbah dan diolah dalam Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)," jelas Wisnu.
Industri batik nasional yang telah mendapatkan Sertifikat Industri Hijau adalah Paradise Batik, yang berlokasi di Bantul, Yogyakarta.
Produsen batik ini meraih penganugerahan Sertifikat Industri Hijau pada tahun 2021 (SIH 13134:2019), yang juga menjadi sektor IKM pertama di Indonesia yang meraih penghargaan tersebut.
Perusahaan telah menerapkan prinsip 3R mulai dari proses produksi sampai produk diterima oleh konsumen.
Misalnya, penggunaan kompor batik listrik dan juga kompor batik berbahan bakar LPG untuk membatik, mengganti lampu TL (neon) menjadi lampu LED, sehingga terjadi efisiensi pemakaian energi.
Selain itu, perusahaan telah memiliki IPAL mandiri, limbah berupa kain sisa dimanfaatkan kembali menjadi produk bernilai tambah (sustainable product) dengan tujuan zero waste, pengolahan kembali lilin malam dengan nilai recycle sebanyak 95 persen, serta penerapan kualitas kontrol di setiap proses produksi yang bertujuan unyuk meminimalkan produk rusak sehingga efisiensi hasil produksi mencapai 95 persen.
Dalam upaya penerapan industri hijau, Paradise Batik merasakan beberapa manfaatnya, antara lain efisiensi bahan baku, energi dan air, sehingga ada penghematan dibandingkan sebelum penerapan Industri hijau.
Selain itu, efisiensi proses produksi yang sesuai SOP dan instruksi kerja, sehingga mengurangi waktu tunggu produk, meminimalisir limbah dan emisi yang dihasilkan, serta peningkatan daya saing produk.