"Hilirisasi ugal-ugalan seperti yang diterapkan untuk nikel sangat sedikit meningkatkan nilai tambah nasional.
"Nilai tambah yang tercipta dari kebijakan hilirisasi dewasa ini hampir seluruhnya dinikmati oleh China dan mendukung industrialisasi di China, bukan di Indonesia," jelasnya.
Bukan tanpa alasan, pernyataan Faisal ini berdasarkan hitung-hitungan peranan sektor industri manufaktur yang terus menurun dari 21,1 persen di tahun 2014 menjadi 18,3 persen pada 2022.
Data ini menjadikan industri manufaktur pada titik terendah dalam 33 tahun terakhir.
Padahal, kebijakan hilirisasi sudah berlangsung selama 10 tahun terakhir.
Tak sampai di situ, adanya smelter nikel, kata Faisal, juga tidak memperdalam struktur industri nasional lantaran hampir separuh ekspor besi dan baja dalam bentuk ferro alloy atau ferro nickel, nickel pig iron dan nickel mate.
Hal ini diartikan bahwa produk yang diekspor tersebut perlu diolah lagi.
"Hampir semua produk-produk itu tidak diolah lebih lanjut, melainkan hampir seluruhnya diekspor ke China. Di China, produk-produk seperempat jadi itu diolah lebih lanjut utnuk memperoleh nilai tambah yang jauh lebih tinggi."
"Lalu produk akhir dijual atau diekspor ke Indonesia," tuturnya.
Hilirisasi Nikel Untungkan China Ketimbang Indonesia
Faisal mengungkapkan nilai tambah smelter nikel sebagian besar dinikmati oleh China.
Ia menyebut nilai tambah tersebut mengalir ke Indonesia tak lebih dari 10 persen.
Setidaknya ada tiga alasan menurut Faisal yang menyebabkan hilirisasi nikel menguntungkan China ketimbang Indonesia.
Pertama, hampir smelter nikel dimiliki oleh pengusaha China lataran memperoleh fasilitas tax holiday sehingga mengakibatkan tak satu persen pun keuntungan mengalir ke Tanah Air.