Hal tersebut lantaran seluruh perusahaan smelter nikel seluruhnya berada di China.
Dengan adanya hal ini, Faisal Basri mengatakan perusahaan China memiliki hak untuk membawa hasil ekspornya kemanapun yang dimau.
"Namun apakah uang hasil ekspor mengalir ke Indonesia? mengingat hampir semua perusahaan smelter pengolah bijih nikel 100 persen dimiliki oleh China dan Indonesia menganut rezim devisa bebas, maka adalah hak perusahaan China untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri," jelasnya.
Faisal Basri juga membandingkan antara ekspor sawit dengan ekspor olahan bijih nikel.
Untuk ekspor sawit, pemerintah mengenakan pajak ekspor ditambah pungutan berupa bea sawit.
Sedangkan ekspor olahan bijih nikel sama sekali tidak dikenai jenis pajak atau pungutan apapun.
"Jadi penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nikel nihil alias nol besar," katanya.
Senada, perusahaan smeleter nikel pun bebas dari pajak keuntungan badan lantaran adanya tax holiday selama 20 tahun atau lebih.
Hal ini berbeda dengan keuntungan perusahaan sawit dan olahannya yang tetap dikenai pajak keuntungan perusahaan atau pajak penghasilan badan.
"Jadi nihil pula penerimaan pemerintah dari laba luar biasa yang dinikmati perusahaan smelter nikel," katanya.
Faisal menganggap hal ini lantaran adanya insentif dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang memberikan fasilitas bagi perusahaan smelter China lewat Peraturan Pemerintah yang dilimpahkan ke BKPM.
Baca juga: Kontraktor China Garap Proyek Smelter Nikel Matte di Kalimantan Timur
Selain itu, Faisal Basri juga mengatakan perusahaan smelter China tidak pernah membayar royalti.
Ia mengungkapkan pihak yang membayar royalti ke pemerintah adalah perusahaan penambang nikel nasional.
Ketika masih dibolehkan mengekspor bijih nikel, kata Faisal, pemerintah masih memperoleh pemasukan dari pajak ekspor.