News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Ada Aspek Politis, Indonesia Urung Terapkan BBM Oktan Tinggi Standar Euro 4

Penulis: Reynas Abdila
Editor: Seno Tri Sulistiyono
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Penerapan standar Euro 4 tentunya akan berimplikasi pada rencana penghapusan BBM dengan Oktan 90 yakni Pertalite.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar politik energi Muhammad Badaruddin menjelaskan kewenangan spesifikasi BBM yang beredar di pasaran ada pada Kementerian ESDM, sementara itu soal kapasitas produksi BBM secara nasional berada dibawah Pertamina.

Menurutnya, penerapan standar Euro 4 tentunya akan berimplikasi pada rencana penghapusan BBM dengan Oktan 90 (pertalite) yang saat ini konsumsinya paling besar dan itu butuh persiapan yang matang.

“Dari sisi teknis, kemampuan Pertamina untuk memproduksi BBM dengan oktan tinggi 95 dan 98 yang sesuai standar Euro 4 masih sangat dimungkinkan,” kata Badar dalam catatannya, Selasa (29/8/2023).

Baca juga: Pertamax Mau Disubsidi Pemerintah? Ini Kata Menteri ESDM hingga Pertamina

Hal tersebut dapat dilakukan dengan mencampur zat aditif seperti MTBE, HOMC, dan etanol yang telah banyak diterapkan di berbagai negara pada stok BBM.

Penggunaan zat-zat aditif tersebut relatif lebih murah jika dibandingkan dengan mengimpor BBM beroktan tinggi.

“Artinya, biaya produksi BBM oktan tinggi dapat ditekan dan jika pun pemerintah harus memberikan subsidi, maka besaran subsidi tidak akan terlalu besar,” urainya.

Meskipun demikian, imbuh Badaruddin, ada beberapa catatan terkait zat-zat aditif tersebut.

“Pertama, soal MTBE, Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang dibentuk pemerintah pada tahun 2014 telah merekomendasikan MTBE sebagai campuran BBM untuk mendukung transisi dari premium ke pertamax karena tidak membutuhkan biaya infrastruktur tambahan dan lebih ramah lingkungan,” ujar Badar.

“Sayangnya, rekomendasi tersebut tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah. Pemerintah melalui Pertamina lebih memilih menggunakan HOMC yang hanya mampu menghasilkan BBM dengan oktan paling tinggi 92 (pertamax), belum memenuhi standar Euro 4,” sambungnya.

Kedua, terkait etanol yang menjadi tren global dan baru-baru ini juga diperkenalkan di Indonesia melalui Pertamax Green 95 ternyata menyimpan potensi masalah.

Sebuah riset ilmiah tahun 2014 menemukan bahwa penggunaan etanol sebagai campuran BBM meningkatkan kandungan zat berbahaya Ozone (O3) di kota Sao Paulo, Brazil yang mendorong lebih banyak kabut asap (smog).

Hal serupa terjadi di Amerika Serikat. Penggunaan etanol dalam BBM menciptakan kabut asap lebih banyak pada saat musim panas, sehingga pemerintah AS menerapkan kebijakan ‘summertime ban’ yang melarang penjualan BBM campuran etanol sepanjang musim panas.

“Yang tidak kalah penting lainnya adalah, BBM dengan campuran etanol membutuhkan infrastruktur kilang, pipa, dan tanki BBM khusus karena sifat higroskopis etanol. Dengan demikian nantinya ada biaya tambahan dari sisi infrastruktur,” urainya.

Terakhir, Badar berpendapat bahwa keputusan pemerintah untuk terus menunda penerapan BBM beroktan tinggi sesuai standar Euro 4 tentunya patut dipertanyakan karena ada banyak alternatif untuk menghasilkan BBM beroktan tinggi.

Nampaknya, aspek politis menjadi pertimbangan utama pemerintah untuk tidak mendorong pemenuhan BBM standar Euro 4.

Penghapusan BBM bersubsidi saat ini dikhawatirkan oleh para pengambil kebijakan akan memicu kegaduhan di masyarakat dan secara politis tidak menguntungkan.

“Jika memang demikian, maka logika tersebut adalah kekeliruan besar. Biaya kesehatan dari polusi udara yang dihasilkan lewat BBM kualitas rendah terus meningkat dan cepat atau lambat akan menjadi isu politik yang tidak bisa dihindari,” tukasnya.

Diketahui, buruknya kualitas udara Jakarta dalam beberapa pekan terakhir diklaim oleh pemerintah pusat disebabkan oleh tingginya populasi kendaraan bermotor di Jakarta.

Berdasarkan data KLHK, jumlah kendaraan di Jakarta mencapai 24,5 juta unit yang mengkonsumsi sekitar 44 persen dari total penggunaan bahan bakar.

Dampaknya, sektor transportasi menempati posisi teratas dalam penghasil emisi karbon sebanyak 28.317-ton emisi karbon per tahun atau 98 persen dari total emisi karbon di Jakarta.

Melalui Peraturan Menteri (Permen) LHK No 20 tahun 2017, Indonesia telah berkomitmen untuk mengimplementasikan penggunaan BBM (Bahan Bakar Minyak) dengan standar emisi Euro 4.

Berdasarkan Permen tersebut, langkah awal yang diambil pemerintah adalah melarang penjualan BBM dibawah nilai oktan 90 (premium) di pasaran per 01 Januari 2023. Akan tetapi penjualan bensin oktan 90 (setara pertalite) dan 92 (setara pertamax) masih diperbolehkan.

Padahal, jika kita mengacu pada standar emisi Euro 4, maka seharusnya BBM yang dijual di Indonesia selayaknya memiliki angka oktan tinggi 95 (setara pertamax green yang baru dirilis) atau 98 (pertamax turbo).

Penjualan BBM dengan standar Euro 4 juga telah siap diantisipasi oleh industri kendaraan bermotor di Indonesia. Hampir seluruh kendaraan bermotor yang diproduksi di Indonesia saat ini telah mengikuti spesifikasi teknis untuk menggunakan BBM standar Euro 4, bahkan lebih tinggi untuk tujuan ekspor.

Hingga saat ini, pemerintah belum memberikan sinyal yang jelas mengenai langkah apa saja yang akan dilakukan untuk memenuhi standar Euro 4 tersebut.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini