News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Polemik TikTok Shop

TikTok Shop Dituding Ancam UMKM Lokal, Berikut Pendapat Para Pengamat Ekonomi Digital

Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Seno Tri Sulistiyono
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi. Social commerce seperti TikTok dinilai pada dasarnya merupakan sesuatu yang tidak dapat dilarang sepenuhnya.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) membuka peluang untuk melarang social commerce seperti TikTok Shop.

Adapun peraturan mengenai social commerce termasuk di dalam revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020 Tentang Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Elektronik (PPMSE) yang sedang digodok pemerintah.

Banyak pihak yang menilai, keberadaan TikTok Shop berpotensi merugikan sektor UMKM Tanah Air.

Baca juga: TikTok Dilarang Jualan Demi Selamatkan UMKM, Berawal dari Teriakan Teten Masduki, Apa Bahayanya?

Pengamat Ekonomi Digital sekaligus Direktur ICT Institute, Heru Sutadi mengungkapkan, Pemerintah memiliki wewenang untuk membuka, membatasi atau menutup layanan TikTok Shop.

Namun, ini harus dilakukan lewat aturan, utamanya adalah Peratutan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri (Permen) mengenai perdagangan melalui sistem elektronik.

Meski begitu, harus ada alasan kuat terkait kebijakan yang diambil dan antisipasi bila mana ada dampak yang ditimbulkan.

"Sebenarnya, perdagangan dengan sistem elektronik tidak bisa dibatasi apakah hanya melalui e-commerce market place, media sosial atau individu melalui media digital apapun," ucap Heru kepada Tribunnews, Selasa (12/9/2023).

"Yang perlu diatur adalah bagaimana kepentingan nasional menjadi concern pengaturan," sambungnya.

Heru melanjutkan, hal yang dimaksud seperti membuka peluang UMKM tumbuh dan berkembang. Kemudian, mengedepankan produk dalam negeri.

Dirinya juga mengatakan, masalah keamanan data rakyat Indonesia juga perlu dijaga, termasuk kehati-hatian jika kemudian data pembelian hanya dijadikan sumber big data untul ekspor produk luar masuk ke Indonesia.

"Harus ada equal level playing field antara e-commerce, social commerce, kemudian antara pemain aplikasi asing dan aplikasi lokal," pungkasnya.

Sementara itu, Peneliti Ekonomi Digital Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan, social commerce pada dasarnya merupakan sesuatu yang tidak dapat dilarang sepenuhnya.

Karena sejatinya interaksi di sosial media tidak dapat diatur apakah mau jual beli atau interaksi lainnya.

Maka dari itu, yang seharusnya dilakukan adalah pengaturan untuk social commerce yang disamakan dengan e-commerce, karena prinsipnya sama-sama jualan menggunakan internet.

"Pengenaan pajak dan sebagainya menjadi krusial diterapkan di social commerce," ungkap Nailul Huda kepada Tribunnews, Senin (11/9/2023).

"Sebelumnya, pada tahun 2019 saya sudah sampaikan bahwa social commerce ini akan lebih sulit diatur karena sifatnya yang tidak mengikat ke perusahaan aplikasi. Akan banyak loophole di situ," sambungnya.

Terkait dengan merugikan UMKM lokal, Huda justru melihatnya dari sisi impor. Diketahui, barang impor di pasar online terdapat dua jenis.

Pertama adalah barang impor yang penjualnya juga berasal di luar negeri, jadi shippingnya dari Luar Negeri. Barang yang ini biasa disebut cross border commerce.

Dengan kebijakan pelarangan impor maksimal 100 dolar AS, pasti akan efektif karena benar-benar dilarang.

Kedua adalah barang impor yang dijual oleh seller lokal, namun shippingnya dari domestik. Berdasarkan catatan Huda, ini porsinya besar sekali dan tidak bisa dibatasi oleh kebijakan larangan impor maksimal 100 dolar AS.

"Kebijakan pelarangan impor bagi produk di bawah harga 100 dolar AS memang akan efektif untuk membendung impor, tapi untuk sistem yang cross border commerce. Pasti akan menurunkan impornya," papar Huda.

"Tapi ya itu, untuk impor cross border commerce. Kalo untuk yang barangnya sudah di Indonesia, tentu gak akan berpengaruh sih kebijakan ini. Maka sejatinya kalo memang mau impor bisa melalui mekanisme impor seperti biasa bukan melalui ecommerce. Agar ada nilai tambah ke perdagangan kita," pungkasnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan, banyak pelaku UMKM dari berbagai sektor yang mengeluh padanya karena kalah saing di social commerce.

Zulhas menyebut, social commerce bisa mengidentifikasi preferensi dari konsumennya, kemudian diarahkan ke produk mereka sendiri.

"Social commerce itu bahaya juga. Dia bisa mengidentifikasi pelanggan dengan big datanya. Ibu ini suka pakai bedak apa, suka pakai baju apa," ujarnya.

"Nanti yang produk dalam negeri begitu masuk iklan di social commerce, bisa sedikit (munculnya, red). Yang produk dia (hasil produksi social commerce tersebut) langsung masuk ke ibu-ibu yang teridentifikasi dan terdata," sambung Zulhas.

Maka dari itu, ia menegaskan social commerce harus ditata regulasinya karena kalau tidak, pelaku UMKM Tanah Air bisa mati.

Untuk tambahan informasi, salah satu poin dalam revisi Permendag 50/2020 juga disebutkan bahwa marketplace tidak boleh menjadi produsen alias menjual produknya sendiri.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini