Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mendukung rencana Pemerintah jika benar-benar ingin menjual Pertamax Green 92, sekaligus menghapus peredaran Pertalite di masyarakat pada tahun 2026.
Menurutnya, penghapusan Pertalite yang notabene-nya BBM subsidi, memerlukan waktu yang cukup lama.
Hal ini utamanya mempertimbangkan ketersediaan stok etanol yang merupakan bahan baku campuran Pertamax Green 92, serta melihat respon pasar jika Pertalite benar-benar dihapus. Diketahui, Pertalite merupakan BBM yang tingkat konsumsinya terbesar.
Baca juga: Pengamat Energi hingga Anggota DPR Tolak Penghapusan Pertalite Jadi Pertamax Green 92: Bebani Rakyat
"Kalau 2026 misalnya terjadi, ini masih realistis terkait penghapusan Pertalite, kan butuh waktu. Seperti halnya penghapusan premium waktu itu tidak serta merta dihapus, itu ditunggu sekitar 2 tahun," ungkap Fahmy kepada Tribunnews, Senin (18/9/2023).
"Jadi, 2026 itu tepat. 2 tahun juga bisa menyiapkan produksi dan ketersediaan bahan baku etanolnya itu," sambungnya.
Namun, Fahmy menolak keras apabila penghapusan Pertalite terjadi pada tahun depan.
Katanya, menghapus BBM Pertalite dalam waktu dekat dan menjual Pertamax Green 92 akan menghasilkan multiplier effect atau efek domino. Karena BBM tersebut jika sudah dijual harganya bakal diatas Pertalite.
"Saya kira kalau itu dipaksakan tahun depan seperti wacana Dirut Pertamina, saya kira tidak tepat dan sangat berisiko," pungkasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membeberkan wacana terkait beredarnya bahan bakar minyak (BBM) jenis baru yakni Pertamax Green 92.
Produk baru tersebut disinyalir akan menggantikan Pertalite pada 2026 mendatang.
"Itu (pertamax green 92) masih 2026, itu masih lama ya," ungkap Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jumat (15/9/2023).
Baca juga: Pengamat Energi UGM Sebut Penghapusan Pertalite Kurang Tepat, Ini 2 Alasan Kuatnya
Terkait penghapusan Pertalite, lanjut Tutuka, Kementerian ESDM akan mengkaji dan melihat kondisi perekonomian nasional.
Agar nantinya kebijakan tersebut tak memberikan dampak negatif bagi geliat ekonomi di dalam negeri.
"Kita bisa harus dilihat dari daya beli masyarakat, kondisi sosial," tukasnya.
Diketahui, PT Pertamina (Persero) kini tengah mengkaji untuk meningkatkan kadar oktan BBM Subsidi RON 90 menjadi RON 92.
Hal tersebut dilakukan dengan mencampur Pertalite dengan Ethanol 7 persen sehingga menjadi Pertamax Green 92.
Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati mengungkapkan, kajian yang dinamakan Program Langit Biru Tahap 2 tersebut masih dilakukan secara internal dan belum diputuskan.
“Program tersebut merupakan hasil kajian internal Pertamina, belum ada keputusan apapun dari pemerintah," papar Nicke dalam pernyataannya, Kamis (31/8/2023).
"Tentu ini akan kami usulkan dan akan kami bahas lebih lanjut,” sambungnya.
Nicke menambahkan, jika nanti usulan tersebut dapat dibahas dan menjadi program pemerintah, harganya pun tentu akan diatur oleh pemerintah.
Kajian tersebut menurut Nicke, dilakukan untuk menghasilkan kualitas BBM yang lebih baik, karena bahan bakar dengan kadar oktan yang lebih tinggi tentu akan semakin ramah lingkungan.
“Tidak mungkin Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) harganya diserahkan ke pasar karena ada mekanisme subsidi dan kompensasi di dalamnya,” terang Nicke.
“Kalau misalnya dengan harga yang sama, tapi masyarakat mendapatkan yang lebih baik, dengan octan number lebih baik, sehingga untuk mesin juga lebih baik, sehingga emisi juga bisa menurun. Namun ini baru usulan sehingga tidak untuk menjadi perdebatan,” ungkapnya.
Nicke menegaskan, Program Langit Biru Tahap 2 ini masih merupakan kajian internal di Pertamina.
Untuk implementasinya, akan diusulkan kepada pemerintah, dan nantinya akan jadi kewenangan pemerintah untuk memutuskan.