- Pemerintah Diminta Berhati-hati
- Pedagang Beras Mulai Teriak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Edi, salah seorang pedagang beras di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, pesimistis harga beras bisa turun meskipun Bulog telah menggelontorkan beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP).
Menurut dia, harga beras lainnya hanya akan sedikit mengalami penurunan meski sudah ada gelontoran beras SPHP ke pasar.
“Sedikit paling (turunnya). Tidak berpengaruh juga. Soalnya ini kan (akibat dari) cuaca,” kata Edi ketika ditemui Tribun di lokasi, Senin (18/9).
Ia beralasan cuaca panas yang belakangan ini melanda Indonesia menjadi alasan harga beras akan susah turun. Sebab, cuaca panas yang mengakibatkan kekeringan ini membuat harga gabah di tingkat produsen akhirnya melambung tinggi.
Baca juga: Harga Beras Naik, Kemendagri Minta Forkopimda Gelar Operasi Pasar dan Cek Potensi Penimbunan
“Gabah melambung harganya. Dengar Bulog ini menggelontorkan beras SPHP), agak ngerem sedikit. Kata yang di sana,” ujar Edi.
Ia pun berharap Bulog bisa terus membanjiri beras SPHP di pasaran dan menggelontorkan lebih banyak lagi.
“Ini beras Bulog mestinya dibanjiri lah. Digelontorkan terus ke pasar-pasar,” kata Edi.
Selain Edi, ada pedagang lainnya bernama Ridwan yang juga pesimistis harga beras bisa turun. Hingga kini, Ridwan telah menghadapi kenaikan harga beras selama kurang lebih dua bulan ke belakang.
“Kalau menurut saya, sekarang-sekarang ini bakal naik terus (harga beras),” ujarnya.
Saat ini, pantauan Tribun di lokasi, sudah ada pedagang yang menjual beras SPHP dengan harga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp10.900 per kilogram (kg). Spanduk harga beras SPHP terpampang jelas di depan kios para pedagang dengan harga yang dijual.
Sebenarnya, masih ditemukan pedagang yang menjualnya di atas HET. Ada yang membanderolnya Rp11 ribu per kg. Namun, hal itu tidak dilakukan Edi.
Baca juga: Minta Pemerintah Kendalikan Harga Beras, Ombudsman: Bisa Ganggu Stabilitas Jelang Pemilu
Ia tetap menjualnya sesuai HET. Dia bilang, kerap ada anggota Satgas Pangan yang menghampiri para pedagang dan menanyakan harga beras yang dijual.
“Tidak bisa (jual lebih dari HET). Ada yang mengontrol. Satgas Pangan. Ya suka ditanya (oleh Satgas Pangan),” kata Edi.
Sebagai informasi, pemerintah mengklaim harga beras akan turun di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) menyusul beras yang diguyur pada pekan lalu.
Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi mengutarakan adanya potensi penurunan harga beras di PIBC usai penggelontoran beras SPHP.
Hal itu karena harga beras yang dijual di PIBC tidak lebih Rp 10.385 per kilogram.
“Dengan ini, hari ini atau besok sudah mulai keliatan penurunan harga beras di Cipinang,” ujar Arief dalam keterangan tertulis.
Adapun 2.000 ton beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) telah digelontorkan ke gudang Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC).
“Hari ini kita pastikan beras SPHP dari Perum Bulog 500 ton masuk ke Gudang Food Station, kemudian 1.500 ton sampai sore ini juga akan masuk ke Gudang Food Station, jadi hari ini akan terdistribusikan hingga 2.000 ton,” kata Arief.
Sebelumnya pada 13 September 2023, pemerintah juga menyalurkan beras SPHP ke PIBC. Untuk tahap awal, Bulog mengirimkan total 4.500 ton ke PIBC. Detailnya, 1.500 ton ke 50 pedagang terverifikasi dan sebanyak 3.000 ton dikirim ke gudang Food Station di PIBC.
“Kita meyakini dengan adanya mekanisme penyaluran seperti ini akan mempengaruhi harga beras, terutama beras jenis medium,” ujar Arief.
Pedagang tingkat eceran dan pasar turunan bisa memperoleh beras dengan harga paling tinggi Rp10.385 per Kg.
Sedangkan masyarakat bisa mendapatkan beras SPHP di harga eceran tertinggi sebesar Rp10.900 per Kg.
Adapun saat ini, mengutip panel harga Badan Pangan Nasional(Bapanas), harga rata-rata beras nasional di tingkat konsumen tengah mengalami kenaikan. Beras premium naik 0,21 persen menjadi Rp14.560 per kg. Beras medium naik 0,23 persen menjadi Rp12.930 per kg.
Pemerintah Waspada
Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika memberi peringatan kepada pemerintah perihal kenaikan harga beras. Ia meminta pemerintah tidak abai dan serius menangani hal ini, jangan sampai kasus kelangkaan minyak goreng pada tahun 2022 terjadi lagi.
Yeka menyebut kasus kelangkaan minyak goreng yang lalu diawali oleh kekeliruan dalam menentukan akar permasalahan. Seharusnya, saat itu pada tahun 2020 pemerintah sudah melakukan mitigasi. Sayangnya, mereka abai.
Ketika tekanan publik sudah tinggi diikuti dengan harga yang telah naik, pemerintah akhirnya panik.
“Kalau pemerintah panik ya kasusnya yang terjadi di minyak goreng itulah yang akan kita alami (di beras),” kata Yeka.
Ia mengatakan, saat itu intervensi yang pemerintah lakukan hanya berujung pada minyak goreng yang semakin langka. Padahal, banyak regulasi yang telah dilakukan.
Yeka pun berharap dalam menghadapi kenaikan harga beras ini, semua tindakan pemerintah jangan sampai berdampak pada semakin langka dan mahalnya beras.
Oleh karena itu, ia meminta adanya kejujuran dalam menganalisis soal beras ini dan disampaikan ke publik.
Ia juga meminta pemerintah dan aparat penegak hukum agar mengedepankan asas ultimum remedium dalam pengawasan tata niaga beras, yang mana pidana merupakan upaya terakhir.
“Penegakan hukum melalui pidana dikhawatirkan dapat membuat pasokan beras semakin langka di pasar,” ujar Yeka.
Yeka juga membeberkan beberapa penyebab kenaikan harga beras. Pertama, ada soal permasalahan iklim. Ia mengatakan, saat ini memang secara nasional terjadi penurunan produksi padi karena iklim.
Berikutnya, ada juga permasalahan di hulu seperti luas lahan pertanian yang terus menurun. Yeka mengatakan, data Badan Pusat Statistik(BPS) menunjukkan bahwa 200 ribu hektar luas lahan pertanian setiap tahunnya mengalami penurunan.
“Kalau tidak ada inovasi dalam meningatkan intensitas tanaman, ya berarti luas lahan ini justru akan menggerus pencapaian peningkatan produksi pertanian,” katanya.
Yeka mengatakan, persoalan di hulu juga meliputi permasalahan benih serta subsidi pupuk. Sedangkan untuk yang ketiga adalah persoalan di hilir. Ia menyinggung beberapa komponen produksi yang mengalami kenaikan harga.
Diantaranya, sewa lahan, harga BBM, pupuk, dan lain-lain. Lalu, ada soal produksi beras menurun, ketidakpastian/ keterlambatan impor beras, serta pasokan beras yang menjadi tidak terantisipasi.
Jika polemik harga beras ini dibiarkan bisa jadi ‘bom waktu’ yang bisameledak sewaktu-waktu.
Menurut Yeka, berpotensi menimbulkan dampak yang lebih serius. Antara lain, pelayanan publik dapat terganggu, inflasi, meningkatnya angka kemiskinan, serta stabilitas sosial dan keamanan politik menjelang tahun pemilu 2024.
“Oleh karena itu, serius lah dalam menyikapi kenaikan harga ini dan satu suara lah pemerintah dalam mendefinisikan penyebab dari semua ini,” ujar Yeka.
Secara terpisah, Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat menghadiri Festival Lingkungan, Iklim, Kehutanan, dan Energi EBT (LIKE) di Indonesia Arena, GBK, Jakarta juga mengingatkan untuk berhati-hati dalam menghadapi ancaman perubahan iklim yang sudah mulai dirasakan oleh masyarakat di seluruh dunia.
Dampak dari perubahan iklim tersebut kata Presiden yakni munculnya krisis pangan.
Mulai dari beras, gandum, dan lainnya. Banyak negara sekarang ini sudah mulai menghentikan ekspor pangan ke negara lain.
“Yang biasanya negara-negara itu mengekspor berasnya 19 negara sekarang sudah setop, ngerem ekspornya, tidak diekspor lagi. Sehingga banyak negara yang harga berasnya naik termasuk di Indonesia sedikit naik. Hati hati mengenai hal ini,” katanya.(Tribun Network/daz/fik/wly)