Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menetapkan 44 penyelenggara layanan pinjaman online atau peer-to-peer (P2P) lending sebagai Terlapor atas dugaan pelanggaran Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, khususnya pasal 5 terkait penetapan harga.
Direktur Investigasi pada Kedeputian Penegakan Hukum KPPU Gopprera Panggabean menyampaikan KPPU melanjutkan kasus pinjaman online (pinjol) ke tahapan penyelidikan, setelah melalui proses penyelidikan awal sejak 5 Oktober 2023.
"Sebanyak 44 perusahaan penyelenggara pinjol ditetapkan sebagai terlapor melalui Rapat Komisi tanggal 25 Oktober 2023. KPPU akan memanggil para pihak termasuk Terlapor, saksi, atau ahli yang berkaitan guna mengumpulkan alat bukti yang cukup terkait dugaan pelanggaran," ujar Gopprera di Jakarta, Jumat (27/10/2023).
KPPU telah selesai melaksanakan penyelidikan awal atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha pinjol yang tergabung dalam Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).
Dalam tahap tersebut, AFPI telah menerbitkan Pedoman Perilaku Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi secara Bertanggung Jawab yang mengatur penetapan jumlah total bunga, biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya (selain biaya keterlambatan) yang tidak melebihi suku bunga flat 0,8 persen per hari, yang dihitung dari jumlah aktual pinjaman yang diterima oleh penerima pinjaman.
Pada tahun 2021, besaran tersebut diatur tidak melebihi 0,4 persen per hari. Setiap anggota AFPI wajib menandatangani suatu pakta integritas yang didalamnya mewajibkan anggota untuk tunduk pada pedoman yang dibuat asosiasi tersebut.
Dalam penyelidikan awal, KPPU telah melakukan berbagai kegiatan pengumpulan informasi, termasuk permintaan informasi secara tertulis kepada para anggota AFPI dan permintaan keterangan dari 5 (lima) penyelenggara P2P lending, AFPI, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Baca juga: KPPU Endus Praktik Kartel Suku Bunga Pinjol di Perusahaan Fintech Anggota AFPI
"Melalui proses tersebut, KPPU telah memperoleh satu alat bukti dugaan pelanggaran pasal 5 dan memenuhi persyaratan untuk dilanjutkan ke tahap penyelidikan," ujar Gopprera.
KPPU juga menemukan bahwa tujuan pengaturan AFPI atas penetapan jumlah total bunga, biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya tersebut adalah untuk melindungi konsumen dari biaya predatory lending, atau praktik pemberian pinjaman yang mengenakan syarat ketentuan bunga dan/atau biaya-biaya yang tidak wajar bagi penerima pinjaman atau tidak memperhatikan kemampuan membayar kembali penerima pinjaman.
Baca juga: Dugaan Kartel Pinjol Naik ke Tahap Penyelidikan, Situs KPPU Mendadak Diserang Hacker
"Proses penyelidikan akan berlangsung tertutup selama 60 (enam puluh) hari kedepan, dan tidak tertutup kemungkinan adanya perpanjangan masa penyelidikan ataupun
penambahan Terlapor, bergantung pada alat bukti yang diperoleh," tutur Gopprera.
Pada proses tersebut, lanjut dia, KPPU akan membuktikan apakah perilaku beberapa penyelenggara P2P lending yang menerapkan suku bunga yang sama tersebut merupakan hasil kesepakatan diantara para penyelenggara.
Baca juga: AFPI Bantah Tudingan Perusahaan Pinjol Anggotanya Terlibat Kartel Suku Bunga
"Pada prinsipnya di suatu pasar yang bersaing, setiap pelaku usaha P2P lending akan menjalankan usahanya secara lebih efisien, sehingga mampu menetapkan tarif suku bunga yang lebih rendah dari para pesaingnya serta memberikan berbagai pilihan fasilitas dan tarif suku bunga bagi konsumen," imbuh Gopprera.