Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan, di tengah upaya pemerintah menggenjot program energi bersih, energi fossil seperti minyak dan gas bumi (migas) tidak serta merta ditinggalkan begitu saja.
Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji mengungkapkan, Indonesia masih membutuhkan migas sebagai salah satu energi yang dimanfaatkan dalam transisi menuju energi bersih.
Ia melanjutkan, belakangan ini ada beberapa penemuan sumber migas dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang beroperasi di Indonesia, diantaranya seperti di Sumatera bagian utara, utara Pulau Bali, utara Pulau Lombok, serta di Selat Makassar.
Baca juga: Pertamina Sustainable Energy Center di IKN Diharapkan Juga Berperan Seperti ‘Lemhannas’ Bidang EBT
"Untuk itu pemerintah mencari jalan tengah dengan tetap akan manfaatkan renewable energy ke depan tapi juga semaksimal mungkin memanfaatkan energi fosil yang sudah ada, itu strategi yang diharapkan bisa terlaksana," ucap Tutuka dalam keterangannya, dikutip Selasa (31/10/2023).
Tutuka mengatakan bahwa peluang investasi migas di Indonesia sangat terbuka lebar, mengingat potensi sumber daya migas yang sangat besar.
Dari data Januari 2023, proven reserves atau cadangan pasti minyak bumi di Indonesia mencapai 2,41 BBO (billion barrel oil), sedangkan proven reserves gas bumi berada pada angka 35,3 TCF (trillion cubic feet).
"Proven reserves kita hanya 10 persen dari potensi sumber daya, atau dapat diartikan potensi sumber daya kita adalah 10 kali lipat dari proven reserve tersebut," imbuhnya.
Akan menjadi tantangan bagi pemerintah, sebut Tutuka, untuk menjadikan potensi sumber daya tersebut menjadi proven reserve.
Sehingga diperlukan kajian lebih dalam, penambahan data yang kemudian dianalisis dan evaluasi untuk dilakukan pengeboran di beberapa cekungan-cekungan yang memiliki potensi minyak besar, seperti Sumatera Selatan, Jawa Timur, Sumatera bagian tengah (sekitar Blok Rokan), sedangkan untuk gas bumi berada di Bintuni, Kutai, dan Sumatera bagian Utara.
Baca juga: Genap 54 Tahun, Elnusa Siap Ekspansi ke Sektor Non-migas, EBT hingga Pengembangan Ekosistem EV
Untuk menarik investor, Tutuka menuturkan, pemerintah juga memberikan regulasi yang atraktif, seperti dengan memberikan share split tidak lagi di angka 85-15, melainkan mulai dari 80-20, dimana bagian pemerintah sebesar 80 persen, dan KKKS 20 persen.
Seiring dengan meningkatnya resiko yang ditentukan oleh pakar geologis dan geofisik, bagian pemerintah akan berkurang dimana untuk gas bumi bisa menjadi 50-50, dan minyak bumi 55-45, atau bagian pemerintah 55 persen dan sisanya bagian KKKS.
"Pemberian insentif lain seperti depresiasi dipercepat, FTP (First Tranche Petroleum), dan lainnya, itu juga bisa duduk bersama dibahas diskusikan atau diajukan kepada pemerintah. Kemudian juga kita selalu berusaha untuk mempercepat urusan AMDAL bersama dengan Kementerian LHK," ujar Tutuka.
Di sektor hilir migas, pemerintah terus berupaya meningkatkan pembangunan Infrastruktur gas bumi strategis guna mendorong interkonektivitas jaringan gas bumi.
Salah satunya pembangunan pipa transmisi gas bumi Cirebon-Semarang (CISEM) yang baru tersambung ruas Semarang-Batang sepanjang 60 KM, dan pembangunan pipa gas Cisem Tahap II (ruas Batang-Kandang Haur Timur) sepanjang 249 KM akan dimulai pada tahun 2024.
Pemerintah juga akan membangun ruas pipa gas transmisi Dumai-Sei Mangke sepanjang 400 km. Jika ruas Dumai-Sei Mangke selesai, kelebihan gas di Jawa Timur bisa ditransfer ke Jawa Barat hingga Sumatera.
Tutuka mengungkapkan, jika infrastruktur hilir migas sudah siap, maka aliran gas dari hulu tersebut bisa dialirkan untuk industri pupuk ataupun kimia, maupun dialirkan ke Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
"Ini sebagai contoh integrasi antara hulu dan hilir, jadi jika ditemukan potensi gas, kurang lebih seperti itu, sehingga negara ini punya kekuatan untuk membangun industri sendiri untuk ketahanan nasional, tidak hanya ketahanan energi saja," pungkas Tutuka.