News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

RPP Berdampak Buruk ke Industri Kreatif, Dian Gemiano: Potensi Pendapatan Hilang Rp 250 Miliar

Editor: Seno Tri Sulistiyono
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi. Kementerian Kesehatan harus mengajak diskusi para pelaku berbagai industri terdampak RPP Kesehatan.

TRIBUNNEWS.COM, - Industri kreatif hingga petani tembakau diyakini bakal terdampak negatif jika Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan yang ada pada saat ini diberlakukan.

RPP Kesehatan merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023. 

Ketua Umum Indonesia Digital Association (IDA) Dian Gemiano mengatakan, beberapa pasal di dalam RPP Kesehatan dapat merugikan industri kreatif yang akhirnya berdampak terhadap pengurangan karyawan.

Kerugian tersebut seperti potensi pendapatan yang bakal anjlok hingga 20 persen karena adanya larangan iklan rokok di media digital dan media sosial. Jika dihitung, media berita bisa kehilangan Rp 200 miliar sampai Rp 250 miliar pendapatan per tahun.

Dian Gemiano: Potensi Hilang Pendapatan Rp 250 MIliar  

Baca juga: Kemenparekraf: Perumusan RPP Kesehatan Harus Libatkan Seluruh Stakeholder

"Angka sebesar itu, bisa mempengaruhi bottom line. Ada potensi pengurangan karyawan, meski itu adalah langkah paling terakhir," ujarnya saat Diskusi Media dengan topik “Dampak Berbagai Larangan Iklan, Promosi, dan Sponsorship Produk Tembakau pada RPP Kesehatan Terhadap Industri Kreatif” di Jakarta, Selasa (21/11/2023).

Oleh sebab itu, Ia meminta Kementerian Kesehatan harus mengajak diskusi para pelaku berbagai industri terdampak aturan tersebut.

"Kita setuju agar perokok anak berkurang, tapi caranya yang kita tidak setuju. Jangan karena tidak tahu harus ngapain. Itu lazy regulation," terangnya.

Dalam RPP Kesehatan, turut memperketat iklan rokok di media penyiaran seperti televisi dan radio.

Dalam aturan tersebut jam tayang iklan rokok semakin dibatasi yang sebelumnya dari jam 21.30 sampai 05.00 pagi menjadi 23.00 sampai 03.00.

Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Syafril Nasution berujar, jam tersebut tidak produktif. Padahal, selama ini TV sudah mengikuti aturan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

JIka, jam tersebut yang diterapkan praktis akan mengurangi pendapatan TV.

"Hal tersebut akan berdampak pada pendapatan industri televisi. Karena kalau dari jam 23.00 sampai 3 subuh, itu yang nonton setan. Tidak ada yang menonton," tuturnya.

Surati Budi Gunadi Sadikin

Industri kreatif yang terdiri dari berbagai asosiasi periklanan, media digital hingga media penyiaran, menyurati Menkes Budi Gunadi Sadikin.

Berikut ini poin-poin yang disampaikan para pelaku usaha dalam surat tersebut kepada Menkes.

Pertama, industri kreatif dan penyiaran serta para tenaga kerjanya sangat terancam jika larangan total iklan produk tembakau diberlakukan. Melansir Data TV Audience Measurement Nielsen, iklan produk tembakau bernilai lebih Rp 9 triliun sementara kontribusi tembakau terhadap media digital mencapai sekitar 20 persen dari total pendapatan media digital di Indonesia yaitu sekitar ratusan miliar per tahun.

Berdasarkan Data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di tahun 2021, industri kreatif memiliki lebih dari 725 ribu tenaga kerja dan secara umum, multi-sektor di industri kreatif juga mempekerjakan 19,1 juta tenaga kerja.

Dengan kontribusi iklan industri produk tembakau, artinya penerimaan yang diperoleh industri kreatif akan menurun 9-10 persen yang akan berdampak besar terhadap penyerapan tenaga kerja dan pendapatan industri kreatif.

Kedua, industri kreatif nasional patuh pada aturan iklan produk tembakau yang telah ditetapkan dan turut mendukung upaya pemerintah dalam menurunkan prevalensi perokok anak.

Selama ini, industri kreatif nasional senantiasa mematuhi peraturan yang berlaku dan iklan rokok telah diatur melalui sejumlah regulasi produk tembakau, diantaranya PP 109/2012 serta ketentuan yang telah diatur secara detil dalam Etika Pariwara Indonesia (EPI).

Dalam hal ini, penyempitan jam tayang iklan rokok di TV dalam RPP Kesehatan dinilai diskriminatif bagi industri kreatif nasional yang telah mematuhi segala aturan perikanan produk tembakau.

Ketiga, industri kreatif nasional tidak pernah dilibatkan dalam proses penyusunan dan partisipasi publik RPP Kesehatan. Janoe mengaku selaku Wakil Ketua DPI tidak pernah diinformasikan dan dilibatkan dalam proses penyusunan kebijakan yang akan berdampak terhadap keberlangsungan usaha.

Selain itu, kementerian pembina senior asosiasi bernaung juga tidak diajak berpartisipasi dalam mengkonsultasikan baik buruknya rancangan yang akan dijalankan kepada publik dan pihak terkait.

Dengan ini, para pemangku kepentingan industri kreatif nasional menolak poin larangan total iklan produk tembakau dengan berbagai pertimbangan untuk dapat ditinjau ulang dan berharap penyusunan RPP Kesehatan dapat dilakukan lebih terbuka dengan melibatkan para pihak yang terdampak atas peraturan yang terkandung di dalamnya.

Surat yang dikeluarkan oleh Sekretariat Bersama Asosiasi Bidang Jasa Periklanan, Media Penerbitan, dan Penyiaran tersebut mewakili aspirasi dari beragam asosiasi, yaitu Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P31), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Asosiasi Perusahaan Pengiklan Indonesia (APPINA), Indonesian Digital Association (IDA), Asosiasi Perusahaan Media Luar-griya Indonesia (AMLI), dan Ikatan Rumah Produksi iklan Indonesia (IRPII).

Harus Dikaji Ulang

Pasal-pasal tembakau dalam RPP Kesehatan dinilai dapat menentukan nasib jutaan masyarakat Indonesia yang bekerja di industri tembakau.

Sehingga, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta proses penyusunan dan pengesahannya tidak terburu-buru dan harus bijaksana, bahkan perlu dikaji ulang.

Anggota Komisi IX DPR, M. Nabil Haroen mengatakan, pembahasan RPP Kesehatan, khususnya pada pengaturan produk tembakau, harus melibatkan petani serta stakeholder yang selama ini terlibat dalam ekosistem pertembakauan.

"Jumlah petani tembakau di Indonesia itu sangat besar, lebih dari 3 juta orang. Belum termasuk buruh yang terlibat di dalamnya. Jadi tidak perlu terburu-buru, jangan dipaksakan jika belum siap," kata Nabil.

Oleh karena itu, pihaknya mengingatkan kepada Kemenkes sebagai leading sector penyusunan pasal tembakau RPP Kesehatan agar lebih hati-hati.

"Ini (peraturan) menentukan masa depan jutaan orang, terutama warga kita yang selama ini hidup dari pertanian tembakau. Kita perlu libatkan lebih banyak pihak untuk mensinergikan berbagai hal, agar semuanya bisa harmonis dan saling melengkapi dari sisi aspirasinya,” paparnya.

Nabil juga meminta supaya pasal-pasal tembakau dalam RPP Kesehatan tidak diarahkan untuk mematikan industri tembakau.

Apalagi, dalam beberapa tahun belakangan ini, dirinya sering berdiskusi dengar pendapat dengan para petani tembakau di berbagai daerah.

"Saya merasakan betul aspirasi, harapan, dan juga doa dari mereka terkait regulasi pertembakauan. Ingat, di belakang petani tembakau ini, ada jutaan warga yang terlibat dalam industri tembakau lokal,” tegasnya. 

Ia juga mengajak seluruh pihak, termasuk Kemenkes, untuk lebih jeli dan melihat dalam kacamata yang lebih luas, bahwa ada aspirasi rakyat kecil, terutama petani tembakau yang harus diperhatikan.

"Misi kita seharusnya menciptakan regulasi yang membantu petani agar lebih sejahtera, membantu warga kita agar lebih mudah mendapatkan akses ekonomi melalui regulasi yang mendukung kemandirian dan kesejahteraan petani," jelasnya. 

Kata Kemenkes

Staf Ahli Menteri Bidang Hukum Kementerian Kesehatan Sundoyo mengatakan, RPP Kesehatan disusun dengan memperhatikan titik keseimbangan antar Kementerian.

Dalam perumusan RPP Kesehatan, setidaknya ada 28 kementerian dan lembaga (K/L) yang dilibatkan dan masing-masing punya fokus spesifik, misalnya kesehatan, industri, dan ketenagakerjaan.

Proses koordinasi antar K/L ini masih terus berlangsung, di mana Kemenkes menargetkan RPP Kesehatan dapat rampung di akhir November 2023.

"Suara-suara (antar kementerian dan lembaga) ini yang akan kita rumuskan bersama, dengarkan bersama, sehingga rumusan di dalam pasal-pasal yang ada di RPP terkait dengan produk tembakau tadi ada keseimbangan," kata Sundoyo.

Pernyataan itu disampaikan pada diskusi Indonesia Policy Analyst Forum seri kedua yang diselenggarakan Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia secara daring.

Kemenkes sebagai pemrakarsa RPP Kesehatan melibatkan berbagai kementerian dan lembaga, dengan harapan dapat memasukkan aspirasi dan kepentingan publik untuk diakomodir lebih lanjut.

Sundoyo membenarkan, ada banyak aspirasi yang diterima oleh Kemenkes dalam proses penyusunan RPP, utamanya dalam public hearing, dan tentunya akan sulit untuk menyenangkan semua pihak.

Ia mengambil contoh pada pasal terkait pengamanan zat adiktif tembakau.

"Misalnya kalau nanti ada kekhawatiran ada PHK massal, pasti teman-teman Kemenaker akan bersuara di situ. Ketika ini terkait dengan industri, kalau ini nanti diatur secara ketat industri memburuk, pasti nanti teman-teman industri akan bersuara. Kemenkeu dan Kemenko Ekonomi juga akan bersuara," ujar Sundoyo.

Secara konsepsi, menurut Sundoyo pengamanan zat adiktif yang ada pada RPP Kesehatan tidak berbeda jauh dengan apa yang pada PP 109 tahun 2012.

Akan tetapi Sundoyo menegaskan, isi dari RPP Kesehatan harusnya sesuai dengan UU 17 tahun 2023 karena merupakan aturan pelaksana dari UU tersebut.

“Sesuai dengan UU No.12 tahun 2011, yang kemudian diperbarui dengan UU No.13 tahun 2022, PP itu pada dasarnya menjalankan amanah UU. Sehingga jangan khawatir, substansi PP tidak akan bertentangan dengan UU 17 tahun 2023,” tambah Sundoyo

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini